Hak Waris Terhadap Isteri Perkawinan Poligami Perspektif Teori Keadilan
Jusrihamulyono A. HM
Abstrak :
Seorang suami agar
boleh beristeri lagi, tentu harus mendapatkan terlebih dahulu izin
dari pengadilan serta persetujuan dari pihak terkait. Pernikahan dengan cara
poligami yakni suatu hal yang boleh dan sanggup dilaksanakan dengan keentuan yang
ada dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang pernikahan.
dalam Al-Qur‘an surah An-Nisa ayat 4 hingga 12 menyebutkan bahwa hukum waris
dalam islam mengatr tentang ketentuan waris seorang isteri dan beberapa isteri.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ketentuan waris isteri di atur
dalam pasal 180. Perbandingan dari Al-Qur’an dan HKI terletak pada syarat
perolehan serta hak waris isteri kedua. Selanjutnya di dalam al-Qur’an surah An-Nisa
ayat 12 menguraikan perolehan hak semestinya, dengan mencermati jumlah isteri, penggunaan
isteri lebih dari satu memakai dasar kata “lahunna” ataupun para isteri.
Pada hasil pemaparan dari tulisan ini didapatkan bahwa perkawinan poligami
dengan prinsip sah dan patut akan mendapatkan pengakuan yang sah juga oleh
ketentuan undang-undang. Namun sebaliknya, apabila perkawinan dilakukan secara
turtutup oleh undang-undang maka tentu kekuatan yang dimiliki isteri dalam
memperoleh hak waris tidak kuat dan tidak memiliki pengakuan yang sah. Keadilan
untuk hak waris isteri poligami mendapat melalui sifat proporsional.
Keyword : Waris,
Isteri, Poligami, Keadilan
A.
Pendahuluan
Perkawinan merupakan ialah sesuatu
kebutuhan berarti untuk umat manusia dimuka bumi ini,[1] Kebutuhan
manusia dalam mencari pasangan hidunya sebagai pendorong dalam pemenuhan
pendukung menjalankan kehidupan sehari-hari. Dengan kehadiran isteri disisi
suami selaku aspek pendukung dan sebagai fungsi pasangan hidup. Untuk di negara
Indonesia, khususnya umat islam saat praterbentuknya Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang perkawinan, tentu tidak memiliki acuan peraturan yang kongrit. Hal
ini tiap-tiap pasangan keluarga mengacu pada fatwa ulama yang ia pahami serta
yang dianutnya. Dengan kehadiran perundang-undangan tentang pernikahan baik
secara khusus dari aturan kompilasi hukum islam, menjadi sebab pelengkap yang
kuat untuk melindugi keluarga dalam pemenuhan hak-hak yang akan hilang. Oleh
karena itu, petugas perkawinan sendiri berpegang pada aturan kompilasi hukum
islam dan aturan perundang-undanga yang berlaku untuk dijadikan pondasi dalam
melangsungkan perkawinan dan pemberian hak waris kepada ahli waris. Regulasi
ini diperkuat dalam al-Qur’an dan risalah Rasulullah SAW sebagai acuan
menjalankan tugas menikahkan serta membagikan kewarisan kepada keluarga yang
sah baik secara agama maupun dalam aturan bernegara.
Undang-undang No 1 Tahun 1974 berbicara
pada perkara pernikahan yang memiliki sifat asas monogamy (satu kali
pernikahan). Perihal ini sepadan dengan ketentuan pasal 3 ayat (1)
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan bahwa prinsip
dalam suatu perkawinan seseorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki seorang
isteri, seorang perempuan hanya diperbolehakan seorang suami.[2]
Jelas pada Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menerengkan
jika seseorang laki-laki hanya diperbolehkan memiliki seseorang isteri, dengan tafsiran
lain yaitu pernikahan cukup sekali. Pasal 3 ayat (1) nyaris sama pada isi
dengan Pasal 27 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang menyatakan
bahwa: “Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diboleh kan mempunyai
satu orang perempuan sebagai isteri, seorang perempuan hanya satu orang
laki-laki sebagai seorang suami”.
Dalam perkawinan poligami serta
ikatan dengan pewaris tidak ada masalah yang sulit sebagaimana yang diperbincangkan
khalayak, akan tetapi permasalahan ini muncul pada pola keadaan dan perilaku
keluarga poligami yang tidak memihak pada keluarga pertama kepada keluarga yang
kedua. Dalam al-Qur’an surah An-Nisa ayat tiga seseorang suami diberi kekuasaan
menikah lebih dari satu dengan batas akhir empat isteri. Kekuasaan untuk berpoligami memiliki
syarat penting yang harus dimiliki sebelum berpoligami. Syarat tersebut berupa
prinsip berkelakuan adil. Menginggat syarat ini ditemukan pada aturan yang
berlaku di Indonesia serta pada khusus pegangan umat islam yaitu al-Quran. Perbolehan
menikah lebih dari satu isteri saja dengan mempertimbangkan akibat hukum terhadap
hak dan perolehan waris dari pernikahan secara poligami tersebut.
Tertulis di dalam al-Qur’an surah
An-Nisa ayat ke tujuh yang mengatur secara tegas terkait hak perempuan dan
laki-laki memperoleh warisan. Ungkapkan tegas dengan istilah dengan makna
serupa bahwa bagi laki-laki terdapat warisan dari apa yang ditinggalkan oleh
bapak ibunya serta hak-hak aqrabun, begitupun perempuan-perempuan terdapat
hak kewarisan dari apa yang ditinggalkan bapak ibunya dan hak-hak aqrabun.
Pada Al-Qur’an surah An-Nisa ayat ke 11 menjelaskan secara spesifik terkait
perolehan waris anak yang diperoleh serta keadaan bagian kemungkinan terjadi,
perolehan hak waris bapak dan ibu dengan tiga garis hukum, serta perkara hutang
dan wasiat. Dilanjutkan Al-Qur’an surah An-Nisa ayat ke 12 berbicara terkait
aturan pembagian kewarisan duda (suami yang ditinggal mati isteri) dengan dua
garis hukum, serta perkara hutang dan wasiat yang melekat pada ahlinya. Hak
kewarisan untuk janda (isteri yang ditinggal mati suami) dengan keadaan
kemungkinan hukum terjadi, serta mengikat pembayaran hutang dan keharusan
menjalankan wasiat. Ayat ditutup dengan hak kewarisan yang didapatkan
saudara-saudara dalam hal kalalah dengan keadaan hukum yang akan terjadi,
serta terkait perkara pembayaran hutang oleh keluarga yang ditinggal dan
pelaksanaan pembayaran wasiat.
Sangat jelas penjelasan yang terdapat di
dalam al-Qur’an dengan menguraikan pembagian waris disamping menjelaskan
pernikahan. Pernikahan yang ditutup dengan perpisahan kematian baik dari saumi
yang meninggal duluan menjadi hak waris bagi isteri yang ditinggal. Tentu ini
menjadi faktor pernikahan yang menimbulkan sebuah akibat kedepannya seperti, hak
nafkah, hak asuh anak serta adanya ikatan waris kepada ahli waris yang
ditinggalkan. Dalam buku kedua Kompilasi Hukum Islam Pasal 188
mengatur, “Bahwa para ahli waris baik bersama-sama maupun perorangan dapat
mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian
harta warisan. Apabila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan
itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk
melakukan pembagian warisan”.
Namun pada kenyataan dalam dunia keluarga ketika terdapat suami yang meninggal dan meninggalkan beberapa isteri. beberapa isteri yang menjadi baik isteri kedua, ketiga atau keempat tidak mendapatkan hak kewarisan ketika harus ditinggal mati oleh suami. Banyak faktor terkait demikian, namun bagaimana hukum positif di indoensia dan hukum kompilasi islam menjabarkan secara tegas pada pembagian hak kewarisan untuk isteri kedua, ketiga dan keempat. Dari alur yang dikemukakan diatas, maka tulisan ini akan mencoba mengkaji bagaimana Hak Waris Terhadap Isteri Perkawinan Poligami Perspektif Teori Keadilan Aristotele.
B.
Pembahasan
1.
Perkawinan
Poligami
Kata poligami terbentuk dari akar
kata yaitu “poli” yaitu lebih, adapun kata “ gami” bermakna isteri.[3]
Menelusri lebih dalam pada istilah poligami maka dapat dipahami kata tersebut berasal
dari bahasa Yunani, yaitu “polos, polus
atau polys” dengan arti lebih satu atau banyak, pada kata “gamein
atau gamos”, merupakan sebuah arti kawin.[4]
Dengan demikian peristilahan poligami merupakan perkawinan lebih dari satu kali,
atau seorang laki-laki memiliki pasangan banyak dengan waktu bersamaan memiliki
ikatan pernikahan lain terhadap pasangan lain.[5]
Pemaknaan yang sama dapat dipahami bahwa sebuah ikatan pernikahan dengan waktu
bersamaan memiliki ikatan pernikahan yang banyak. Pengertian poligami dengan
sudut pandang lain bahwa sebuah pernikahan diwaktu bersamaan memiliki ikatan
pernikahan dengan pasangan yang lain.[6]
Poligami juga merupakan sebagai perkawinan antara seorang dengan lebih atau dua
orang perempuan akan tetapi kecenderung kebanyakan orang memahami ditengan
masayarakat kita yaitu “perkawinan satu orang suami dengan dua orang isteri
atau lebih”.[7]
Dalam kamus ilmiah, poligami
dimengerti secara istilah sebagai bentuk pernikahan antara seseorang dengan dua
perempuan orang atau lebih atau peristilahan lain seseorang suami menikahi dua
perempuan.[8]
Dalam bahasa arab dikenal dengan istilah “ta’diduz zauwjaat” artinya
penambahan terhadap pasangan.[9]
Dalam pandangan hukum yang dibungkus pada Kompilasi Hukum Islam (KHI),
menyatakan pada pasal 55 ayat 1: “beristeri lebih dari sau orang pada waktu
bersamaa, terbatas hanya sampai empat orang isteri”. Dengan demikian
terkait pengertian poligami dari beberapa dikemukakan secara istilah di atas,
tentu memiliki makna yang mirip dengan praktek di dunia kekeluargaan di tengah
masyarakat kita.
Prinsip poligami sudah dituangkan di
dalam al-Qur’an sebagai firman Allah:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
[An-Nisaa’/4: 3].
Uraian
ayat di atas, pada saat Rasulullah SAW berkediaman di kota Madinah, setelah
berkecamuknya perang uhud berlangsung, para pasukan kaum muslimin ikut berjuang
terdapat sekitar tujuh puluh jumlah kaum muslimin sahabat laki-laki gugur di
medan perang. Akibat dari peran tersebut, menimbulkan beberap perempuan harus
menjanda dan anak-anak menjadi yatim yang harus bina dan dilindunga.[10]
Ini sangat jelas bahwa tujuan ayat tersebut ingin melindungi perempuan akan
kelemahannya dan melindungi anak-anak yatim yang kehilangan perlindungan dan
binaan dari seorang ayah. Pada kenyataan peristiwa di atas memberkan intruksi
dari keanjuran melindungi hak anak yatim dengan menikahi ibu-ibu anak yatim.
Melalui pernikahan perempuan-perempuan yang memiliki anak tanpa seorang ayah
menjadi jalan tegaknya keadilan dan perlindungan terhadap hak kekayaan seorang
anak serta perlindungan untuk kaum perempuan yang lemah. Secara hukum islam di
pembolehan poligami sangat dianjurkan dengan tujuan berperilaku adil terhadap
keluarga yang lemah serta berperilaku terhadap anak-anak yatim yang dimiliki
oleh perempuan yang dinikahinya.
Dalam
sisi regulasi hukum di Indonesia yang diuraikan di dalam undang-undang
pernikahan memberikan intruksi kepada seseorang suami yang hendak beristeri
lagi harus memperoleh izin dari pengadilan dan tentunya harus disetujui oleh
pihak-pihak yang bersangkutan sebelum menikah lagi. Perkawinan dengan cara
poligami merupakan sesuatu kebolehan secara syarat dan keadaan yang mendukung
para kedua pihak, sejalan dengan aturan yang berlaku di Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan: “ Dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang ini, maka ia akan wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan
didaerah tempat tinggalnya “.
2.
Hak
Waris Terhadap Isteri dalam Poligami
Pandangan Effendi Perangin, kewarisan
yakni sebuah aturan mengikat dengan kekuatan hukum untuk mengatur pada pokok
pengalihan kekayaan harta atau benda milik dari orang meninggal (simayit)
terhadap orang yang tinggalkannya atau dikenal dengan istilah ahli waris.
Pada dasasnya hanya kewajiban serta hak yang melekat dalam lingkup hukum
kebendaan atau harta benda saja yang bisa menjadi warisan.[11] Kewarisan
dapat dikenal sebuah peristiwa peralihan kekayaan yang tinggalkan sebab
kematian. Kewarisan tidak akan terjadi tanpa ada sebuah peristiwa kematian,
sebab akibat kematian salah satunya adalah pengelolahan harta waris keluarga
untuk dibagi sesuai aturan yang berlaku baik pada aturan agama dan aturan
perundang-undangan.[12]
Hukum islam memberikan perisitilahan
dengan makna perpindahan harta kepemilikan si mayit kepada kerabat-kerabatnya
yang berhak memperoleh menurut bagiannya masing-masing. Dalam hal ini, harta
yang pada awalnya dikuasai oleh seseorang semasa hidupnya akan dibagi kepada
beberapa orang yang menjadi ahli warisnya setelah ia meninggal. Apabila ada
pembagian warisan harta peninggalan, maka hak perorangan harus dikeluarkan
terlebih dahulu sebelum harta dibagi.[13]
Tentu ini akan menjadi perhitungan bagi isteri yang dipoligami akan haknya
terhadap suaminya yang telah meninggal.
Dalam
Al-Qur’ansurah An-Nisa ayat 12:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ
لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ
مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ
كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ
وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً
اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى
الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ
ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ[14]
“Dan bagianmu
(suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (isteri-isterimu) itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah
(dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan
setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan
(seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiatnya) yang
dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada
ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah, Allah Maha mengetahui, Maha Penyantun”.
Ayat di atas menguraikan hak perolehan waris antara suami dan
isteri dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Suami berhak mendapatkan 1/2 (setengah) dari
harta waris isteri dengan ketentuan yaitu isteri tidak memiliki anak.
2. Suami berhak mendapatkan
1/4 (seperempat) dari harta waris isteri dengan ketentuan yaitu isteri memiliki
anak.
3. Isteri berhak mendapatkan 1/4
(seperempat) dari harta waris suami dengan ketentuan yaitu suami tidak memiliki
anak.
4. Isteri berhak mendapatkan
1/8 (seperdelapan) dari harta waris suami dengan ketentuan suami memiliki anak.
Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 12 mengunakan kata “lahunna”
dengan bermakna isteri-isteri, dimana penulis mencoba
menafsirkan tentang perolehan dan hak kewarisan para isteri. Apabila dicermati
secara seksama maka tidak ada pemisah antara isteri pertama dengan isteri kedua
begitupun seterusnya untuk memperoleh dari harta waris yang ditinggalkan
suaminya. Untuk takaran isteri dengan jumlah 1/4 (seperempat) hanya memerlukan
syarat berupa antara suami dan isteri tersebut tidak memiliki keturunan. Pada
konsisi dimana suami dan isteri tersebut memiliki keturunan maka akan
memperoleh hak kewarisan dengan takaran sebanyak 1/8 (seperdelapan).
Tindak lanjut demikian terletak dengan posisi suami
meninggalkan beberapa isteri. Pembagian memiliki konsekuensi tersendiri dalam
arti dari 1/4 dan 1/8 dapat dimaknakan kadar ini diperhitungkan berdasarkan
dengan jumlah isteri yang ada saat suami meninggal dunia. Sebagai contoh, suami
meninggal dunia, dengan meninggalkan dua isteri dan memiliki keuturunan,
sehingga perhitungan dapat digunakan dengan masing-masing 1/8 bagian untuk dua isteri
tersebut. dengan hasil perhitungan menjadi kedua isteri memperoleh bagian
sebesar 1/16 bagian yang sama. Apabila suami meninggal dunia, meninggalkan dua isteri
dan tidak memiliki keturunan, maka berhak mendapatkan hak waris dengan takaran
1/4 bagian masing-masing. Kemudian dikalkulasi secara keseluruhan menjadi kedua
isteri tersebut mendapatkan 1/8 bagian yang sama.[15]
Apabila
ada satu orang isteri atau lebih maka ia bukan perihal pembatas terhadap
menghalangi untuk mendapatkan hak istri yang lain. Hanya saja dua keadaan hukum
akan mempengaharui perolehan jumlah waris yang diterima sebagaimana dicontohkan
di atas.[16]
Hak kewarisan untuk bagi isteri kedua dan selanjutnya sama-sama memiliki posisi
dan peluang yang sama. Takaran dan bagian tersebut tidak memiliki perbedaan
dengan melihat kondisi hukum pada isteri-isteri si masyit. Keadaan tersebut
bisa berbeda apabila isteri pertama memiliki keturunan dan isteri kedua tidak
memiliki keturunan.
Pada hubungan persoalan di atas maka tulisan
ini mengutik aturan pada Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 Pasal 65 ayat
(1) menegaskan bahwa jika seorang suami berpoligami maka: 1. Suami wajib
memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya; 2. Isteri yang
kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta waris yang telah ada
sebelum perkawinan dengan isteri kedua dan selanjutnya; 3. Semua isteri
mempunyai hak yang sama atas harta waris yang terjadi sejak perkawinan
masing-masing.
Setidaknya perbincangan di atas dapat
disimpulkan bahwa hak kewarrisan seorang isteri yang suaminya berpoligami,
dipandang sebagai harta warisnya berdasar pada yang telah dimiliki keduanya.
Sedang isteri kedua dan selanjutnya maka harta warisnya juga berdasar pada yang
dimiliki bersama sejak mula menikah. Ketentuan harta waris isteri pertama dan
seterusnya adalah sama. Kemudian jika ditemukan permasalahan pada pembagian
kewarisan tidak bisa dilaksanakan melalui musyawarah para pewaris si mayit
sehingga menyebabkan adanya perselisihan antara suami isteri terkait harta
waris tersebut, langkah yang dilakukan dengan penyelesaian perselisihan di
Pengadilan Agama. Karena langkah tersebut merupkan sebuah pilihan yang tepat
dalam mengatasi problem harta waris.
Pada kasus pernikahan poligami tanpa tercatat
di pernikahan, akan berakibat munculnya masalah dikemudian hari dalam perebutan
harta kekayaan suami. Karena sang suami biasanya tidak pernah menyampaikan
hubungan pernikahan yang kedua kepada isteri pertama. Ini menjadi dampak yang
kuat terhadap isteri-isteri yang ingin mendapatkan kewarisan dari suaminya. Hal
ini pernikahan yang dilakukan hanya sebatas memiliki status hukum secara adat
dan agam atau istilah di masyarkat yaitu pernikahan di bawah tangan. Faktor ini
sangat mempersulit keadaan untuk isteri yang dipoligami untuk menuntut hak
kewarisannya. Sehingga problematika dalam pemenuhan hak waris dari perkawinan
poligami, muncul berbagai faktor seperti:[17]
1.
Perkawinan
dengan dasar sistem poligami masih marak dalam kehidupan masyarakat sehingga
mengakibatkan faktor tidak memiliki kekuatan hukum dari Negara.
2.
Sebuah
perkawinan dilakukan secara di bawah tanagh karena tidak mendapatkan restu dari
isteri pertama sehingga perseteruan terjadi ketika ada gugatan dari isteri
kedua dalam mencari hak kewarisan;
3.
Poligami
tidak pernah dilaporkan kepada pihak pencatat pernikahan;
4.
Akibat
dari poligami berdampak pada kekuatan hukum yang melakat pada harta bersama dan
akibatnya terkendala dalam menentukan harta sebenarnya yang dimiliki suami
serta sulit menentukan harta yang menjadi harta warisan antara isteri pertama
dan kedua.
5.
Harta
yang tidak dipisah baik dari harta bawaaan dan harta bersama;
6.
Tidak
adanya perjanjian perkawinan untuk mengikat kepemilikan antara suami dan isteri
akibatnya muncul alasan yang sama yaitu harta bersama tidak menjadi harta
warisan.
Pernikahan
demikian secara maslahat tidak bisa didapati sebab justru menimbulkan mudharat
yang lebih banyak. Perseteruan antara isteri pertama dan kedua dalam
mengklaim hak waris yang diperoleh sama sama memiliki hak dan takaran yang
sama. Namun hal lain terjadi pada kesulitan istri kedua dalam mengklaim harta
waris yang dikuasai oleh isteri pertama. Apalagi isteri kedua dengan pernikahan
dibawah tangan sebab karena tidak memiliki hubungan pernikahan yang berkekuatan
hukum tetap.
3.
Analisis
Hak Waris Isteri Poligami Terhadap Teori Keadilan
Aristoteles menerangkan jika keadilan dapat kita temukan dalam
karyanya nichomchean ethics, politic serta rethoric. Teori keadilan Aristoteles
berdasar pada prinsip persamaan. terdapat juga poin penting di dalam novel
nichomachean ethics, dimana seluruhnya diperuntukan untuk keadilan yang
bersumber pada filsafat universal Aristoteles. selaku inti dari filsafat
hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan”.[18]
Artistoteles menempatkan keadilan selaku pembagian dari dua sisi berupa proporsi ataupun
perimbangan. setelah dibagi menjadi dua posisi. Maka keadilan distributif( iustitia
distributive) serta korektif dan remedial. Keadilan distributif mengacu
pada pembagian benda serta peranan jasa. Pembagian proporsi yang sama hendak
diberikan kepada orang- orang yang sama, kebalikannya orang yang tidak sama
pasti hendak memperoleh pembagian yang berbeda, sehingga seluruh orang
diberlakukan sama buat perihal yang sama serta diperlakukan berbeda buat
perihal yang berbeda.
Tercantum pada keadilan distributif merupakan pembagian hak serta termasuk
menjadi takaran sesuai proporsi. Inti utama paradigma keadilan ini sebagai
suatu pemberian hak yang menitiik beratkan pada hak persamaan dan tidak pada
hak persamarataan. Aristoteles menjadikan hak persamaan sebagai titik untuk
memposisikan sesuai dengan hak professional individu masing-masing. Kesamaan
hak sisi kehidupan manusia merupakan suatu wadah atupun unit yang sama. Inilah
yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum
sama. Kesamaan profesional diberi setiap apa yang menjadi haknya dengan sesuai prestasi
serta kemapuan yang telah dilakukanya.
Keadilan korektif menghendaki terdapatnya penggantian kerugian
ataupun pemulihan pada kondisi serupa semula selaku suatu fasilitas guna
menyeimbangkan ketidakseimbangan sebab ketidakadilan. Oleh karena itu pada
konsep keadilan korektif ini berlaku: pelaksanaan hukuman hendak menebus
kejahatan; restitution hendak menebus kerugian akibat wanprestasi; serta
pemulihan kerugian ataupun kehancuran ekonimi lewat aksi yang menguntungkan.
Konsep keadilan korektif ini jadi bawah pertimbangan lahirnya tanggung gugat
kepada orang lain.
Dalam lingkup hukum perdata, hingga tiap aksi yang merugikan orang
lain sebab kesengajaan ataupun kelalaian bisa jadi alibi buat diajukannya
gugatan. Oleh karena itu konsep keadilan korektif ini sangat berhubungan dengan
gugatan perdata. Dalam konsep keadilan korektif, keadilan jadi jalur tengah
antara kehabisan serta bonus. Hakim jadi opsi kala terjalin perkara, sebab
hakim diharapkan bisa mengembalikan penyeimbang lewat putusannya yang adil. Tindakan
adil merupakan jalan tengah di antara bertindak tidak adil dengan menderita
ketidakadilan.[19]
Aturan-aturan terhadap hak memperoleh kewarisan sangat melekat
dengan hukum berlaku pada perkawinan. Pada saat eksekui pembagian wari terdapat
beberapa keluarga tidak menerima pembagian tersebut termasuk keluarga kedua
atau ketiga dari si mayit. Banyak kasus yang tidak tersampaiakn di pengadilan
terkait haknya untuk memperoleh kewarisan dari suaminya dilatarbelkangi hubungan
pernikahan yang siri. Meskipun di dalam Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1974
tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 24
ayat (2) menyebutkan bahwa selama gugatan pembagian waris dan permohonan
penggugat dan tergugat masih berlangsung, maka hal tersebut bisa menentukan
ahli waris yang berhak menerima warisan serta ukuran bagiannya dalam perkawinan
poligami.
Acuan teori yang tepat untuk menggambarkan kondisi istri kedua,
ketiga dan keempat atau isteri yang dipoligami mengambil pada keadialan
distributif dengan keasamaan dihadapan hak. Kesamaan ini terletak pada jumlah
tiap-tiap waris yang diteri isteri dengan dua hukum yaitu mendapatkan hak 1/4
dan hak 1/8 dari harta suami. Pembagian tersebut menjadi mutlak dan tidak bisa
digantikan. Hanya saja dalam keadaan untuk menuntuk keadilan sebab diantara
isteri tidak terima akan kondisi poligami dan mengakibatkan penutupan jalan
untuk membagi rata waris. Setiap isteri mengklain akan harta yang diperoleh
merupakan usahan selama perkawinan menyebabkan persoalan tersebut
mengatasnamakan hak keseluruhan yang tidak bisa dibagi. Akibatnya keadaan ini
menjadi tersudut pada isteri kedua atau ketiga dan keempat. Secara teori
keadilan untuk mendekatkan pada pendekatan distributif tidak memberikan efek
pasti secara keseluruhan karena sebab di atas. Akan tetapi teori ini mampu
memberikan kepastian hak teerhadap bagian masing-masing dengan melihat rumus
usaha dan tekat dalam menjalankan kehidupan pernikahan bersama suami.
C.
Kesimpulan
Pembagian secara kewarisan terbagi dua keadaan yaitu isteri
memiliki keturunan dan apabila isteri tidak memiliki keturunan. Hak kewarisan
isteri memiliki keturunan haknya mendapat 1/8 dari warisan suami, apabila tidak memiliki
keturunan isteri berhak mendapatkan 1/4 dari warisan suami. Dalam bahasan ini
terletak pada keadaan masing-masing isteri apakah memiliki keturunan atau tidak
memiliki keturunan. Dan masih dalam ikatan pernikahan yang sah.
Dipandang secara keadilan apabila hak-hak waris isteri yang
dipoligami mendapatkan dari usahanya selama berumah tangga. Hak proporsional
dalam teori keadilan sebagai hak sesuai proporsi dalil-dalil waris secara paten
di dalam Al-qur’an. Hak mendapatkan sesuai dengan jangka waktu berumah tangga
dan usaha yang hasilkan waktu perkawinan tersebut.
Daftar Pustaka
Abdul Rahman Ghazali, Fikh Munakahat,
Jakarta: Kencana, 2003.
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat,
Bandung: Pustaka Setia, 2009.
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat
Poligami, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007.
Daminikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris
Adat di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2015.
Effendi
Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: PT. Raja Grafindo 1997.
H. Rahmat
Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Hendro Darmawan, Dkk, Kamus Ilmiah Popular Lengkap Dengan EYD
Dan Pembentukan Istilah Serta Akronim
Bahasa Indonesia, Yogyakarta: Bintang Cemerlang, 2010.
MA. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum
Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Cet. 2011
(Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Muhammad
Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Karya Putra Toha, 1978.
Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmuah Populer, Surabaya: ARKOLA, 1947.
Ridwan
Syahrani, Perkawinan dan Keadilan Dalam Hukum Islam, t.t: Bulan Bintang,
1969.
Yaswirman,
Hukum Keluarga, Karakter dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam Masyarakat
Matrilineal Minang Kabau. (Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada.. 2011.
Imam Machaly, Poligami
Dalam Perebatan Teks Dan Konteks “Melacak Jejak Argumentasi Poligami dalam Teks
Suci”, Palastren Jurnal: Study Gender, Vol, Vlll, No.1, 2016.
Bambang
Sugianto, Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami ,Jurnal: Al’Adl, Volume IX No 2, Agustus 2017.
Kusnul
Kholik, Sistem
Pembagian Waris Terhadap Isteri Kedua Perspektif Kompilasi Hukum Islam, Jurnal:
Usratuna, Vol. 1, No. 2, Juli
2018.
Zakki Adlhiyati
dan Achmad, Melacak Keadilan Daam Regulasi Poligami: Kajian Filsafat
Keadilan Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rahwls, Undang: Jurnal
Hukum, Vol. 2 No,. 2, 2019
Undang-Undan No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang No 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA).
Undang-Undang No 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
[1] Muhammad Rifa’i,
Ilmu Fiqih Islam Lengkap, (Semarang: Karya Putra Toha, 1978), 453.
[2] Ridwan
Syahrani, Perkawinan Dan Keadilan Dalam Hukum Islam, (T.T: Bulan Bintang,
1969), 219
[3] Abdul Rahman Ghazali, Fikh Munakahat, (Jakarta: Kencana,
2003), 129.
[4] Ma. Tihami Dan Sohari Sahrani,
Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 351
[5] Beni Ahmad Saebani, Fiqh
Munakahat, Bandung: Pustaka Setia, 2009, 151; Siti Musdah Mulia, Islam
Menggugat Poligami, (Jakarta: Pt Raja Grafindo, 2007), 44.
[6] Daminikus Rato, Hukum Perkawinan
Dan Waris Adat Di Indonesia, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2015, 17.
[7] Pius A. Partanto Dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmuah
Populer, (Surabaya: Arkola, 1947),
606.
[8] Hendro Darmawan, Dkk, Kamus Ilmiah Popular
Lengkap Dengan Eyd Dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2010), 576.
[9] H. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), 113.
[10] Imam Machaly,
Poligami Dalam Perebatan Teks Dan Konteks “Melacak Jejak Argumentasi Poligami
Dalam Teks Suci”, Palastren Jurnal: Study Gender, Vol, Vlll, No.1, 2016, 47.
[11] Effendi
Perangin, Hukum Waris, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo 1997), 30.
[12] Bambang
Sugianto, Kedudukan Ahli Waris Pada Perkawinan Poligami ,Jurnal: Al’adl, Volume Ix No 2, Agustus 2017.
[13] Yaswirman,
Hukum Keluarga, Karakter Dan Prospek Doktrin Islam Dan Adat Dalam Masyarakat
Matrilineal Minang Kabau. (Jakarta :Pt. Raja Grafindo Persada.. 2011), 212.
[14] Al-Qur’an
An-Nisa (4) Ayat 12
[15]
Kusnul Kholik, Sistem Pembagian Waris Terhadap Isteri Kedua
Perspektif Kompilasi Hukum Islam, Jurnal: Usratuna, Vol. 1, No. 2, Juli 2018, 53.
[16] Moh. Muhibbin Dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan
Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif Di Indonesia, Cet. 2011 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), 102.
[17] Ibid.
[18] L. J. Van
Apeldoorn. “Pengantar Ilmu Hukum”, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1996), 11-12
[19] Zakki Adlhiyati
dan Achmad, Melacak Keadilan Daam Regulasi Poligami: Kajian Filsafat Keadilan
Aristoteles, Thomas Aquinas, dan John Rahwls, Undang: Jurnal Hukum, Vol. 2 No,.
2, 2019. 415.






0 comments:
Post a Comment