blog ini memberikan ulasan ilmu-ilmu menjadi wawasan baru anda seperti Ilmu Hukum, Hukum Keluarga, Psikologi Keluarga, Kesehatan Keluarga, Ilmu Sosial, Dunia Pendidkan.

SEJARAH PEMBUKUAN HADITS

 




SEJARAH PEMBUKUAN HADITS (TADWIN AL-HADITS), LATAR BELAKANG, TOKOH-TOKOH DAN PERIODESASINYA

Oleh: Lailatul Fatiha/ 200101220018

Gmail: lailatulfatiha96@gmail.com

 

Abstrak:

Kajian terkait tadwin al hadits atau pembukuan hadits sangat ideal untuk diperbincangkan hingga sekarang. Sebab melalui tahapann pentadwinan ini akan memberikan arah dalam memahami dan mecari hadits. Proses penulisan hadits telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW . pada masa itu terdapat dua keputusan tentang penulisan hadits. Ada yang secara lisan dilarang oleh Nabi Muhammad dan setelahnya diperbolehkan dalam mengumpulkan hadits. Para sahabat mendapatkan hadist dari nabi secara langsung dan tidak langsung dan dengan dua metode yaitu catatan dan hafalan. Pada saat itu penulisan hadits sangatlah sederhana sebab media yang tersedia berupa pelepah kurma dan tulang hewan sehingga hadits belum sempat dibukukan. Selain itu perhatian para sahabat hanya bertumpu pada penulisan kalamullah, sehingga nabi menghawatirkan akan bercampur antara hadits dan al-Qur’an. Pembukuan hadits mencapai puncaknya pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz kemudian terus berkembang hingga terkumpul menjadi kitab as-sittah. Kitab induk bagi ulama sesudahnya sebagai rujukan dalam mencari hadits yang jelas kebenarannya.

Keyword : Sejarah Tadwin, Periodesasi Pembukuan Hadits, Tokoh-Tokoh

 

A.      PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan hadist telah ada sejak masa Rasulullah atau dimulai pada abad 1 Hijriyah namun belum sampai pada tahap pembukuan. Pada saat itu para sahabat hanya mengandalkan catatan biasa dan hafalan terkait hadist dari nabi yang mereka dapatkan dari perkataan ataupun perbuatan nabi. Setalah nabi Muhammad wafat, maka para sahabat berusaha dengan sangat dalam menerima dan meriwayatkan hadist. tujuannya tidak lain untuk menjaga kemurnian hadist tersebut dan menghindari pemalsuan hadist. Sebab hadist memiliki posisi penting kedua dalam hukum Islam dan fungsinya sebagai pelengkap al-Qur’an. Selain itu, masa-masa hadist belum dibukukan disebabkan Nabi Muhammad melarang untuk menulis hadist sebab pada masa tersebut para sahabat hanya memfokuskan pada penulisan al-Qur’an. seperti dalam sebuah hadist yaitu;

عن أبي سعيد اخلدري ريض اهلل عنه قال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم ال تكتبوا عنى ومن كتب عين غري القرأن فليحمه وحد ثوا عنى ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار  )رواه مسلم(

Dari Abu Sa’id al-Khudriy ra., dia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda : “Kalian jangan menulis apa-apa yang keluar dariku. Barang siapa yang menulis sesuatu yang keluar dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapusnya.Riwayatkanlah dari saya. Barang sipa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya di neraka” (HR. Muslim)[1]

Proses penulisan hingga pembukuan hadist tersebut baru dimulai pada abad 2 Hijriyah tepatnya pada pemerintahan kahlifah Umar bin Abd Aziz. Diantara ulama yang mendapat tugas untuk mengkodifikasi hadist yaitu Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Ar-Robi’ bin Subaih, Said bin Abi Arubah dan lain sebagainya.[2] Istilah pembukuan hadist disebut dengan tadwin. Manna’ al-Qathan mendefinsikan tadwin yaitu tadwin bukanlah menulis, yang dimaksud menulis adalah seseorang menulis suatu lembaran atau lebih banyak dari itu, sedangkan tadwin ialah mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari lembaran-lembaran dan hafalan dalam dada, kemudian menyusunnya hingga mnejadi satu.[3]

Melalui pembukuan hadist tersebut, maka yang awalnya hadist terpisah-pisah akhirnya menjadi tersusun berdasarkan bab-bab tertentu. Selain itu, dengan adanya tadwin al-hadits ini memiliki pengaruh terhadap perkembangan hukum Islam yaitu ilmu Fiqih. Sebab, melalui fiqih bermunculan madzhab-madzhab fiqih yang menjadikan hadist sebagai sumber rujukannya dalam membahas persoalan fiqih. Selain itu, mellaui hadist maka para madzhab fiqh dapat menelaah secara mendalam terkait konteks sosio historis hadist tersebut sehingga dapat diketahui keshahihannya dan dapat digunakan sebagai rujukan sumber hukum Islam yang shahih. Oleh karena itu, mengenal sejarah panjang ini menjadikan konsep awal dari mengenal pembentukan sebuah taklifi atau pembebanan hukum. Dengan kata lain, sumber hukum yang kedua setalah Al-Qur’an bagi ilmu fiqih.[4]

Berdasarkan hasil pembukuan hadist selama in akhirnya ulama hadist berhasil menyusun kitab-kitab hadist yang dikenal dengan kutubus sittah yang disusun oleh 6 Imam yaitu Bukhari, Muslim, Nasa’i, Turmudzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Yang mana perjalanan kutubus sittah menjadi pedoman bagi maysrakat muslim dalam mencari hadist yang shahih untuk dijadikan sebagai rujukan. Sebab yang terjadi di masyarakat saat ini banyak sekali hadist-hadist dhoif yang bertebaran dan dengan mudahnya ditelan mentah-mentah oleh masyarakat tanpa mencari tau keshihan hadist tersebut.

Pentingnya melakukan kajian terkait tadwin al-Hadits ini sebagai landasan dalam sumber penetapan kualifikasi hadits terutama bagi para ulama hadits  kajian ini sangat penting dalam melakukan sebuah penulisan, melihat asal muasal pembukuan hadits, serta dapat membedakan dalam mennetukan kualitas sebuah hadits. Oleh sebab itu, kajian ini mengupas lebih jauh terkait sejarah hadits ebelum dibukukan, perbedaan pendapat laranagn penulisan hadits, periodesasi pembukuan serta tokoh tokoh terkait.


klik dibawah untuk baca pembahasan selanjutnya: 

Sejarah Hadits Sebelum Pentadwinan

Pelarangan Penulisan Hadits

Periodesasi Perkembangan Hadits Hingga Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Fiqih



[1] Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, (Kairo: Matba’ah al-Misriyah, 1934), hal. 129.

[2] Ibn Hajar Al-Asqalani, Fat al-Bari, (Cairo: Pustaka al-Ahram,) Jilid 1, hal. 178.

[3] Manna’ al-Qathan, Mabahis fii Ulumu al-Hadits, (Kairo: Maktabah Wahbah, Cet. II, 1994), Hal. 33.

[4] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999, hal. 46.

Share:

PEMBAHASAN SEJARAH PEMBUKUAN HADITS (Pelarangan Penulisan Hadits)

 by : Lailatul Fatiha



 Pelarangan Penulisan Hadits

Hadist dalam perjalanannya hingga termaktub dalam kumpulan di dalam kitab-kitab yang hingga kini kita kenal memiliki sejarah panjang. Diawali dengan pelarangan Rasulullah kepada sahabat untuk menulis hadist hingga dibolehkannya menulis hadis.

التكتبوا عنّي شيئا غير القران فليمحه  )رواه أحمد(

Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, kecuali al-Qur’an, dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur’an, maka hendaklah ia menghapuskannya.”[1]

Maksud dari hadits di atas menjelaskan bahwa nabi Muhammad melakukan pelqarangan dalam penulisan hadits sebab beliau khawatir hadits akan tercampur dengan al-Qur’an. akan tetapi sifat larangan tersebut tidak umum. Artinya pelarangan bagi para sahabat dan khusus bagi yang mampu menulis dengan baik. Pada keadaan yang lain, nabi Muhammah bahkan memerintahkan agar haditsnya ditulis. Sebagaimana dalam sebuat hadist yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar “ aku pernah menulis segala sestau yang kudengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya”. Tetpi orang-orang Quraisy melarangku melakukannya. Mereka berkata; ‘kamu hendak menulis (hadits)  padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang. Kemudian aku menahan diri (untuk tidak menulis hadits) hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah. beliau bersabda: “Tulislah maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar dariku selain kebenaran”. (HR. Ahmad bin Hambal).

Berdasarkan hadits di atas diketahui bahwa Rasulullah Mengijnkan penulisan hadits hanya pada sahabat tertentu. Dan larangan menulis hadits berlaku umum bagi umat Islam. Selain itu terdapat pendapat yang mengatakan bahwa hadist hadist tentang pelarangan di nasakh oleh hadits tentang pembolehan menulis hadits. Dimana larangan penulian hadits hanya terjadi pada masa awal Islam sebab ditakutkan bercampurnya antara al-Qur’an dan hadits, kemudian umat Islam sudah banyak yang memahami dan mendalami isi kandungan al-Qur’an serta mereka :dapat membedakan antara kandungan hadits dan al-Qur’an maka dinasakhlah hukum larangan tersebut kemudian hukum penulisan hadits menjadi boleh.[2]


baca juga: Periodesasi Perkembangan Hadits Hingga Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Fiqih


Menurut M. Syuhudi Ismail terdapat beberapa alasan Rasululah memberlakukann larangan penulisan hadits adalah sebagai berikut;

a)        Penyampaian hadist tidak selalu dihadapan sahabat yang pandai menulis hadist

b)        Fokus sahabat dan nabi pada saat itu hanyalah pada al-Qur’an

c)        Meskipun nabi memliki sekertaris, namun mereka diberi tugas untuk menulis wahyu yang turun dan surat-surat nabi

d)       Sangat sulit untuk melakukam pencatatan secara langsung terkait perbuatan, taqrir dan hal ihwal orang yang masih hidup, serta peralatan yang tersedia masidh sngat sederhana.[3]


baca juga:   Sejarah Hadits Sebelum Pentadwinan



[1] Hadis ini diriwayatkan oleh Muslim, alDarimi dan Ahmad ibn Hanbal. A.J.Wensinck, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadis al-Nabawi VI, (Leiden: E.J. Brill, 1936), 176

[2] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, AL-Sunnah Qabla at-Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahdah, 1999), hal. 306-307.

[3] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 101-102.

Share:

PEMBAHASAN SEJARAH PEMBUKUAN HADITS (Sebagai penguat fiqih)

 

by: Lailatul Fatiha 





Periodesasi Perkembangan Hadits Hingga Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Fiqih


Periodesasi pembukuan hadits pada masa pertama adalah masa nabi Muhammad saw. Pada masa ini disebut dengan asru al-wahyi wa al takwin (masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Nabi Muhammad menyampaikan haditsnya kepada para sahabt melalui pengajian, semua hal ihwal nabi dibagikan kepada para sahabtnya, selain itu peristiwa terkait umat Islam pada saat itu dan peristiwa yang dialami oleh nabi maka para sahabat akan menanyakan hukumnya kepada nabi Muhamamd. Lalu semua peristiwa tersebut ditulis ke dalam shahifah yang terbuat dari pelepah kurma, kulit-kulit kayu dan tulang hewan. Adapun sahabat yang memiliki shahifah adalah: Abdullah Ibnu Amr Ibnu ‘Ash (Shahihaf Ahadiqah), Jabil bin Abdullah Al-Anshari (Shahihaf Jabir), Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Bakar Ash-Saddiq.[1]

Pada masa nabi, hadist belum dibukukan, sebab hadiits yang disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu hanya berfokus pada hafalan yang ditrima sahabat secara langsung (melalui pengajian, khutbah dan sebagainya)  dan tidak langsung (mendengar dari sahabt yang lain). Namun dalam bidang tulis menulis pada masa ini sudah ada namun masing sangat sederhana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa nabi pembukuan hadist masih belum ada, sebab fokus nabi dan para sahabat sat itu hanya pada kalamullah yaitu al-Qur’an.

Masa kedua yaitu masa sahabat atau dikenal dengan ‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Pada masa ini hadits masih belum mendapatkan perhatian khusus, tetapi kegiatan periwayatan hadits sudah mulai berkembang meskipun masih sedikit. Usaha sahabat membatasi periwayatan disebabkan suasana politik saat itu sangat mempengaruhi dalam pengajaran dan penyebarluasan periwayatan hadits, selain itu pada masa ini al-Qur’an sudah memasuki tahap pembukuan.[2]sebab itu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali sangat berhati-hati alam menerima periwayatan dari sahabat lain, temasuk dari Abu Hurairah yang terkenal dengan periwayat hadits terbanyak.[3] Sehingga dalam melakukan periwayatan hadits terbagi 2 cara yaitu lafdhzi dan ma’nawi. Menurut Ajjaj Al-Khatib beberapa hal yang menjadi penyebab pada masa ini belum menghimpun hadits dalam satu kitab adalah sebagai berikut;

a)        Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari al-Qur’an

b)        Para sahabat yang banyak menerima hadits sudah tersebar ke wilayah Islam sehingga sulit untuk mengumpulkan secara lengkap sebab kesibukan masing-masing

c)        Terkait pembukuan hadits, pada sahabat terdapat peselisihan pendapat dan perselisihan terkait lafadz dan keshahihannya.[4]

Masa selanjutnya adalah msa Tabiin. Pada masa ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah Ila Al-Amslaar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits). Pada masa ini umat Islam sudah tersebar luas hingga krluar dari kawasan jazirah Arab. Institusi sosial keagamaan, kelompok sekte juga sudah bermunculan, termasuk paham pemikiran Islan di bidang pranata sosial dan ketauhidan. Sebagaimana masa sahabat, masa tabiin juga sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Hadits hadits yang diterima oleh tabiin dari para sahabat berupa catatan dan hafalan. Berdasar pada meluasnya para sahabat ke wilyah kekuasaan Islam maka tercatat bebrapa kota yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadits dan menjadi tempat tujuan bagi tabiin dalam mencari hadits dan pada masanya nanti akan menjadi pusat para tabiin dalam meriwayatkan hadits. Kota-kota tersebut yaitu Madinah, Makkah, Kuffah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghrib, Andalus, Yaman dan Khurasan.[5] Masa selanjutnya yaitu masa penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Dimana masa penulisan dimulai pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz . beliau memerintahkan Abu Bakar bin Aamr bin Hashim (Gubernur Madinah) yaitu :

أنظروا اىل حديث رسول اهلل ص.م. فاكتبوه فإىن خفت دروس العلم وذهاب العلمأ وال تقبل اال حديث انلي

Periksalah hadith-hadith Rasul SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama dan janganlah kamu terima kecuali hadith Rasul SAW.

Latar belakang Abdul Aziz melakukan pembukuan hadits yaitu:[6]

a)    Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadist dari pembendaharaan masyarakat sebab hadist belum dikumpulkan menjadi sebuah kitab

b)   Kemauan beliau dalam membersihkan dan menjaga hadist dari hadist-hadits maudhu

c)    Alasan belum dibukukannya hadist pada msa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin yaitu kekhatiran akan bercampur dengan al-Qur’an, hingga kehawatiran tersebut hilang sebab al-Qur’an telah terkumpul dalam satu mushaf dan telah tersebar ke seluruh pelosok wilayah Islam.

d)   Beliau hawatir hilangnyan hadits-hadits dengan wafatnya para ulama di medan perang

Selain itu khalifah juga memberikan instruksi yang sama kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, dengan menggalang agar para ulama hadist mengumpulkan hadist di masing-masing daerah tersebut. Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah, yang menurut para ulama kurang lengkap. Sedangkan ibn Syihab Al-Zuhri berhasil menghimpunnya, yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali, kedua karya tabi‟in ini lenyap, tidak sampai pada generasi sekarang.[7] Proses pengkodifikasian hadits terus berlanjut.  Usaha pembukuan hadist oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab AzZuhri pada abad pertama hijriyah diteruskan oleh beberapa ulama hadits yang telah berhasil mengumpulkan dan menyusun hadits. Pada masa ini kegiatan penghimpunan hadits bersamaan dengan kegiatan ulama dalam menghimpun ilmu-ilmu agama, antara lain Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam dan sebagainya. Oleh karna itu pada masa ini dikenal sebagai “Ashru al Tadwin“ (masa pembukuan.[8]   


baca juga :   Sejarah Hadits Sebelum Pentadwinan


Pada masa selanjutnya yaitu periodePemurnian yang terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah. Dimana  hadist pada masa sebelumnya masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin, sehingga hadist masih belum terseleksi mana yang termasuk hadist marfu’, mauquf, dan maqthu’, serta antara hadits shahih, hasan dan dho’if. Untuk mnegatasi penyeleksian ini maka para ulama hadits membuat kaidah untuk menntukan kualitas hadist tersebut shahih atau tidaknya. Maka lahirlah tunas ilmu dirayah hingga terkumpullah kutub al-Sittah yang menjadi induk, standar dan tempat merujuk kitab-kitab yang datang setelahnya. 1. Al-Jami’ as Sahih susunan Imam al Bukhari 2. Al-Jami’ as Sahih susunan Imam Muslim 3. As-Sunan Abu Dawud 4. As-Sunan At-Turmudhi 5. As-Sunan An-Nasa‘i 6. As-Sunan Ibn Majah.   


baca juga :  Pelarangan Penulisan Hadits

      

Masa selanjutnya  yaitu masa pemeliharaan, penerbitan, penghimpunan. Pada masa ini usaha ulama dalam mengembangkan hadist yaitu: menyusun karya-karya dengan menggunakan metode ulama sebelumnya yaitu menyusun kitan shahih dan sunan, menyusun kitab mu’jam (mu’jam al-kabir), menggabungkan beberapa kitab hadits yang sudah ada (al-Jam’u bayn as-Shahihayn), mensyarah hadist yang berkaitan dengan sanad ataupun matan (Syarh Ma’anil Atsar), dan mestakhraj yaitu mengeluarkan beberapa hadits dari buku hadits yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanadnya sendiri (mustakhraj Abi Bakar al-Isma’ili ala Shaih Bukhari).[9]                          

Masa terakhir yaitu masa pensyarahan, penghimpunan dan pentakhrijan. Masa ini ,erupakan lanjutan dari masa selanjutnya. Dimana ulama mulai menyusun hadist hadist, memperbharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi sesuai kualitasnya. Dan mulai menyusun kitab hadist berdasarkan tema.  Adapun pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan fiqih  sebagaimana yang kita ketahui bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an dan sebagai pelengkap al-Qur’an. semua ahli fiqih dari berbagai aliran dan madzhab di kota-kota besarberpendapat bahwa hadits merupakan pedoman dan suber hukum mereka dalam menetapkan hukum-hukum fiqih serta menjadikan hadits sebagai rujukan hukum fiqih.[10] Dalam menghadapi sebuah persoalan hukum terkait fiqih maka ulama akan mencarinya dalam al-Qur’an dan hadist, namun apabila dikeduanya tidak ditemukan maka para ulama akan melakukan ijtihadnya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Berikut beberapa dampak pembukuan hadits terhadap perkembangan fiqih adalah sebagai berikut:

a)        Munculnya madzhab-madzhab fiqih

Munculnya madzhab fiqih dimulai sejak kejayaan Islamm pada masa Abbasiyah. Diantara madzhab fiqih yaitu madzhab Imam Syafi’i, madzhab Imam al-‘Auza’i, madzhab Imam Mlik bin Anas dan lainnya. Namun kemuncylan madzhab tersebut lama-lama menghilang. Tetapi dari banyaknya madzhab, terdapat beberapa madzhab yang masih ada hingga sekarang yaitu empat madzhab Sunni ( madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, Syafii), madzhab Zaidiyah, Imamiyah (Syiah), madzhab Ibadhiyah (Khawarij).[11]

b)      Pembukuan hadits menjadi sumber fiqih

Hadits dapat dijadikan sebagi sumber fiqih dengan syarat harus meneliti sumbernya yang benar-benar dari nabi. sebagaimana imam Asy-Syaukani mengatakan “Keberadaan hadits sebagai hujjah atau sumber hukum syari‟at serta wewenangnya dalam penetapan hukum-hukum sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, tak ada seorangpun berbeda paham tentangnya, kecuali mereka yang tidak memiliki cukup ilmu dalam islam[12]

c)      Mempermudah para ulama dalam berijtihad atu istinbat hukum fiqih

Dahulu sebelum ada pembukuan hadits, para ulama melakukan ijtihad berdasar pada hadits hadits yang dihal oleh sahabat dan tabiin. Tetapi hal ini berubah setelah hadits dibukukan, sehingga para ulama dapat melakukan ijtihad dan istinbath hukum tentang hukum fikqih melalui kitab haidts yang membahas bab fiqih. Seperti kitan al-Muwattha’ karya Malik bin Anas. Didalmnya beliau menyusun sesuai ba  fiqih, memadukan dalil asl dan masalah furu’. Jadi kitab al-Muwattha’ kitab hadits dan fiqih pertama yang dibukukan.[13]



[1] Dr. Muhajirin, Ilmu-Ilmu Hadits, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016), hal. 18-19

[2]   Abu Bakar Abak, Sejarah Pelembagaan dan Pembukuan As-Sunnah, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 42, No. II, 2008, hal. 296.

[3]   Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul al-Haadits Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 84.

[4] ‘Ajjaj Al Khatib, As-Sunnah Qabla A-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), hal. 92-93.

[5] Munzier Siparta, Ilmu Hadith, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 85.

[6] Ajjaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla al-Tadwin, hal. 329.

[7]  M. Rizqillah Masykur, Penharuh Pembukuan Hadits Terhadap Fikih, Jurnal Al-Makrifat Vol. 4,  No. 1, 2019, hal. 79.

[8]  Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, (Surabaya: PT: Bina Ilmu, 1985), Hal. 85.

[9] Kusniati Rofiah, Studi Hadits, (Yogyakarta: IAIN PO Press, 2018). hal, 89,

[10] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 89.

[11] Tim Batartama, Trilogi Ahlusunah: Akidah, Syariah dan Tasawuf, hal. 203.

[12] Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi swa, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 47.

[13] Tim Batartama, Trilogi Ahlusunah: Akidah, Syariah dan Tasawuf, hal. 239.

Share:

About

AD BANNER