SEJARAH PEMBUKUAN HADITS (TADWIN AL-HADITS),
LATAR BELAKANG, TOKOH-TOKOH DAN PERIODESASINYA
Oleh: Lailatul Fatiha/ 200101220018
Gmail: lailatulfatiha96@gmail.com
Abstrak:
Kajian terkait tadwin al hadits atau pembukuan
hadits sangat ideal untuk diperbincangkan hingga sekarang. Sebab melalui
tahapann pentadwinan ini akan memberikan arah dalam memahami dan mecari hadits.
Proses penulisan hadits telah ada sejak masa Nabi Muhammad SAW . pada masa itu terdapat dua keputusan tentang
penulisan hadits. Ada yang secara lisan dilarang oleh Nabi Muhammad dan
setelahnya diperbolehkan dalam mengumpulkan hadits. Para sahabat mendapatkan
hadist dari nabi secara langsung dan tidak langsung dan dengan dua metode yaitu
catatan dan hafalan. Pada saat itu penulisan hadits sangatlah sederhana sebab
media yang tersedia berupa pelepah kurma dan tulang hewan sehingga hadits belum
sempat dibukukan. Selain itu perhatian para sahabat hanya bertumpu pada penulisan
kalamullah, sehingga nabi menghawatirkan akan bercampur antara hadits dan
al-Qur’an. Pembukuan hadits mencapai puncaknya pada masa khalifah Umar bin
Abdul Aziz kemudian terus berkembang hingga terkumpul menjadi kitab as-sittah.
Kitab induk bagi ulama sesudahnya sebagai rujukan dalam mencari hadits yang
jelas kebenarannya.
Keyword : Sejarah Tadwin, Periodesasi Pembukuan
Hadits, Tokoh-Tokoh
A. PENDAHULUAN
Sejarah perkembangan hadist telah ada sejak
masa Rasulullah atau dimulai pada abad 1 Hijriyah namun belum sampai pada tahap
pembukuan. Pada saat itu para sahabat hanya mengandalkan catatan biasa dan
hafalan terkait hadist dari nabi yang mereka dapatkan dari perkataan ataupun
perbuatan nabi. Setalah nabi Muhammad wafat, maka para sahabat berusaha dengan
sangat dalam menerima dan meriwayatkan hadist. tujuannya tidak lain untuk
menjaga kemurnian hadist tersebut dan menghindari pemalsuan hadist. Sebab
hadist memiliki posisi penting kedua dalam hukum Islam dan fungsinya sebagai
pelengkap al-Qur’an. Selain itu, masa-masa hadist belum dibukukan disebabkan Nabi
Muhammad melarang untuk menulis hadist sebab pada masa tersebut para sahabat
hanya memfokuskan pada penulisan al-Qur’an. seperti dalam sebuah hadist yaitu;
عن أبي سعيد اخلدري
ريض اهلل عنه قال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم ال تكتبوا عنى ومن كتب عين غري
القرأن فليحمه وحد ثوا عنى ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من
النار )رواه مسلم(
Dari Abu Sa’id al-Khudriy ra., dia berkata: Rasulullah saw. telah
bersabda : “Kalian jangan menulis apa-apa yang keluar dariku. Barang siapa yang
menulis sesuatu yang keluar dariku selain Al-Qur’an, maka hendaklah ia
menghapusnya.Riwayatkanlah dari saya. Barang sipa sengaja berbohong atas nama
saya maka tempatnya di neraka” (HR. Muslim)[1]
Proses penulisan hingga pembukuan hadist
tersebut baru dimulai pada abad 2 Hijriyah tepatnya pada pemerintahan kahlifah
Umar bin Abd Aziz. Diantara ulama
yang mendapat tugas untuk mengkodifikasi hadist yaitu Muhammad bin Syihab
Az-Zuhri, Ar-Robi’ bin Subaih, Said bin Abi Arubah dan lain sebagainya.[2] Istilah pembukuan hadist disebut dengan
tadwin. Manna’ al-Qathan mendefinsikan tadwin yaitu tadwin bukanlah menulis,
yang dimaksud menulis adalah seseorang menulis suatu lembaran atau lebih banyak
dari itu, sedangkan tadwin ialah mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari
lembaran-lembaran dan hafalan dalam dada, kemudian menyusunnya hingga mnejadi
satu.[3]
Melalui pembukuan hadist tersebut, maka yang
awalnya hadist terpisah-pisah akhirnya menjadi tersusun berdasarkan bab-bab
tertentu. Selain itu, dengan adanya tadwin al-hadits ini memiliki pengaruh
terhadap perkembangan hukum Islam yaitu ilmu Fiqih. Sebab, melalui fiqih bermunculan madzhab-madzhab fiqih yang
menjadikan hadist sebagai sumber rujukannya dalam membahas persoalan fiqih.
Selain itu, mellaui hadist maka para madzhab fiqh dapat menelaah secara
mendalam terkait konteks sosio historis hadist tersebut sehingga dapat
diketahui keshahihannya dan dapat digunakan sebagai rujukan sumber hukum Islam
yang shahih. Oleh karena itu, mengenal sejarah panjang ini menjadikan konsep
awal dari mengenal pembentukan sebuah taklifi atau pembebanan hukum.
Dengan kata lain, sumber hukum yang kedua setalah Al-Qur’an bagi ilmu fiqih.[4]
Berdasarkan hasil pembukuan hadist selama in
akhirnya ulama hadist berhasil menyusun kitab-kitab hadist yang dikenal dengan kutubus
sittah yang disusun oleh 6 Imam yaitu Bukhari, Muslim, Nasa’i, Turmudzi,
Abu Dawud dan Ibnu Majah. Yang mana
perjalanan kutubus sittah menjadi pedoman bagi maysrakat muslim dalam
mencari hadist yang shahih untuk dijadikan sebagai rujukan. Sebab yang terjadi
di masyarakat saat ini banyak sekali hadist-hadist dhoif yang bertebaran
dan dengan mudahnya ditelan mentah-mentah oleh masyarakat tanpa mencari tau
keshihan hadist tersebut.
Pentingnya melakukan kajian terkait tadwin
al-Hadits ini sebagai landasan dalam sumber penetapan kualifikasi hadits terutama
bagi para ulama hadits kajian ini sangat
penting dalam melakukan sebuah penulisan, melihat asal muasal pembukuan hadits,
serta dapat membedakan dalam mennetukan kualitas sebuah hadits. Oleh sebab itu,
kajian ini mengupas lebih jauh terkait sejarah hadits ebelum dibukukan,
perbedaan pendapat laranagn penulisan hadits, periodesasi pembukuan serta tokoh
tokoh terkait.
klik dibawah untuk baca pembahasan selanjutnya:
Sejarah Hadits Sebelum Pentadwinan
Periodesasi Perkembangan Hadits Hingga Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Fiqih
[1] Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, (Kairo: Matba’ah al-Misriyah,
1934), hal. 129.
[2] Ibn Hajar
Al-Asqalani, Fat al-Bari, (Cairo: Pustaka al-Ahram,) Jilid 1, hal.
178.
[3] Manna’ al-Qathan, Mabahis fii Ulumu al-Hadits, (Kairo: Maktabah
Wahbah, Cet. II, 1994), Hal. 33.
[4] Yusuf
Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW, Bandung: Karisma, 1999, hal.
46.










