by: Lailatul Fatiha
Periodesasi Perkembangan Hadits Hingga Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Ilmu Fiqih
Periodesasi pembukuan hadits pada masa pertama
adalah masa nabi Muhammad saw. Pada masa ini disebut dengan asru al-wahyi wa
al takwin (masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Nabi
Muhammad menyampaikan haditsnya kepada para sahabt melalui pengajian, semua hal
ihwal nabi dibagikan kepada para sahabtnya, selain itu peristiwa terkait umat
Islam pada saat itu dan peristiwa yang dialami oleh nabi maka para sahabat akan
menanyakan hukumnya kepada nabi Muhamamd. Lalu semua peristiwa tersebut ditulis
ke dalam shahifah yang terbuat dari pelepah kurma, kulit-kulit kayu dan tulang
hewan. Adapun sahabat yang memiliki shahifah adalah: Abdullah Ibnu Amr Ibnu
‘Ash (Shahihaf Ahadiqah), Jabil bin Abdullah Al-Anshari (Shahihaf Jabir), Ali
bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abu Bakar Ash-Saddiq.[1]
Pada masa nabi, hadist belum dibukukan, sebab
hadiits yang disampaikan oleh Rasulullah pada saat itu hanya berfokus pada
hafalan yang ditrima sahabat secara langsung (melalui pengajian, khutbah dan
sebagainya) dan tidak langsung
(mendengar dari sahabt yang lain). Namun dalam bidang tulis menulis pada masa
ini sudah ada namun masing sangat sederhana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada masa nabi pembukuan hadist masih belum ada, sebab fokus nabi dan para
sahabat sat itu hanya pada kalamullah yaitu al-Qur’an.
Masa kedua yaitu masa sahabat atau dikenal
dengan ‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan
menyedikitkan riwayat). Pada masa ini hadits masih belum mendapatkan perhatian
khusus, tetapi kegiatan periwayatan hadits sudah mulai berkembang meskipun
masih sedikit. Usaha sahabat membatasi periwayatan disebabkan suasana politik
saat itu sangat mempengaruhi dalam pengajaran dan penyebarluasan periwayatan
hadits, selain itu pada masa ini al-Qur’an sudah memasuki tahap pembukuan.[2]sebab
itu Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali sangat berhati-hati alam menerima
periwayatan dari sahabat lain, temasuk dari Abu Hurairah yang terkenal dengan
periwayat hadits terbanyak.[3]
Sehingga dalam melakukan periwayatan hadits terbagi 2 cara yaitu lafdhzi dan
ma’nawi. Menurut Ajjaj Al-Khatib beberapa hal yang menjadi penyebab pada
masa ini belum menghimpun hadits dalam satu kitab adalah sebagai berikut;
a)
Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam
dalam mempelajari al-Qur’an
b)
Para sahabat yang banyak menerima hadits sudah
tersebar ke wilayah Islam sehingga sulit untuk mengumpulkan secara lengkap
sebab kesibukan masing-masing
c)
Terkait pembukuan hadits, pada sahabat
terdapat peselisihan pendapat dan perselisihan terkait lafadz dan
keshahihannya.[4]
Masa selanjutnya adalah msa Tabiin. Pada masa ini disebut ‘Ashr Intisyar
al-Riwayah Ila Al-Amslaar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan
hadits). Pada masa ini umat Islam sudah tersebar luas hingga krluar dari
kawasan jazirah Arab. Institusi sosial keagamaan, kelompok sekte juga sudah
bermunculan, termasuk paham pemikiran Islan di bidang pranata sosial dan
ketauhidan. Sebagaimana masa sahabat, masa tabiin juga sangat berhati-hati
dalam meriwayatkan hadits. Hadits hadits yang diterima oleh tabiin dari para
sahabat berupa catatan dan hafalan. Berdasar pada meluasnya para sahabat ke
wilyah kekuasaan Islam maka tercatat bebrapa kota yang menjadi pusat pembinaan
dalam periwayatan hadits dan menjadi tempat tujuan bagi tabiin dalam mencari
hadits dan pada masanya nanti akan menjadi pusat para tabiin dalam meriwayatkan
hadits. Kota-kota tersebut yaitu Madinah, Makkah, Kuffah, Bashrah, Syam, Mesir,
Maghrib, Andalus, Yaman dan Khurasan.[5] Masa
selanjutnya yaitu masa penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Dimana masa
penulisan dimulai pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz . beliau
memerintahkan Abu Bakar bin Aamr bin Hashim (Gubernur Madinah) yaitu :
أنظروا اىل حديث رسول اهلل ص.م. فاكتبوه فإىن خفت دروس العلم وذهاب
العلمأ وال تقبل اال حديث انلي
“Periksalah hadith-hadith
Rasul SAW, kemudian tulislah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan
meninggalnya para ulama dan janganlah kamu terima kecuali hadith Rasul SAW”.
Latar belakang Abdul Aziz melakukan pembukuan hadits yaitu:[6]
a) Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadist dari pembendaharaan
masyarakat sebab hadist belum dikumpulkan menjadi sebuah kitab
b) Kemauan beliau dalam membersihkan dan menjaga hadist dari hadist-hadits
maudhu
c) Alasan belum dibukukannya hadist pada msa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin
yaitu kekhatiran akan bercampur dengan al-Qur’an, hingga kehawatiran tersebut
hilang sebab al-Qur’an telah terkumpul dalam satu mushaf dan telah tersebar ke
seluruh pelosok wilayah Islam.
d) Beliau hawatir hilangnyan hadits-hadits dengan wafatnya para ulama di medan
perang
Selain itu khalifah juga memberikan instruksi yang sama kepada Muhammad ibn Syihab Al-Zuhri (w. 124 H), seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam, dengan menggalang agar para ulama hadist mengumpulkan hadist di masing-masing daerah tersebut. Abu Bakar ibn Hazm berhasil menghimpun hadis dalam jumlah, yang menurut para ulama kurang lengkap. Sedangkan ibn Syihab Al-Zuhri berhasil menghimpunnya, yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali, kedua karya tabi‟in ini lenyap, tidak sampai pada generasi sekarang.[7] Proses pengkodifikasian hadits terus berlanjut. Usaha pembukuan hadist oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Syihab AzZuhri pada abad pertama hijriyah diteruskan oleh beberapa ulama hadits yang telah berhasil mengumpulkan dan menyusun hadits. Pada masa ini kegiatan penghimpunan hadits bersamaan dengan kegiatan ulama dalam menghimpun ilmu-ilmu agama, antara lain Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam dan sebagainya. Oleh karna itu pada masa ini dikenal sebagai “Ashru al Tadwin“ (masa pembukuan.[8].
baca juga : Sejarah Hadits Sebelum Pentadwinan
Pada masa selanjutnya yaitu periodePemurnian yang terjadi pada masa pemerintahan Abbasiyah. Dimana hadist pada masa sebelumnya masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin, sehingga hadist masih belum terseleksi mana yang termasuk hadist marfu’, mauquf, dan maqthu’, serta antara hadits shahih, hasan dan dho’if. Untuk mnegatasi penyeleksian ini maka para ulama hadits membuat kaidah untuk menntukan kualitas hadist tersebut shahih atau tidaknya. Maka lahirlah tunas ilmu dirayah hingga terkumpullah kutub al-Sittah yang menjadi induk, standar dan tempat merujuk kitab-kitab yang datang setelahnya. 1. Al-Jami’ as Sahih susunan Imam al Bukhari 2. Al-Jami’ as Sahih susunan Imam Muslim 3. As-Sunan Abu Dawud 4. As-Sunan At-Turmudhi 5. As-Sunan An-Nasa‘i 6. As-Sunan Ibn Majah.
baca juga : Pelarangan Penulisan Hadits
Masa selanjutnya yaitu masa pemeliharaan, penerbitan, penghimpunan. Pada masa ini usaha ulama dalam mengembangkan hadist yaitu: menyusun karya-karya dengan menggunakan metode ulama sebelumnya yaitu menyusun kitan shahih dan sunan, menyusun kitab mu’jam (mu’jam al-kabir), menggabungkan beberapa kitab hadits yang sudah ada (al-Jam’u bayn as-Shahihayn), mensyarah hadist yang berkaitan dengan sanad ataupun matan (Syarh Ma’anil Atsar), dan mestakhraj yaitu mengeluarkan beberapa hadits dari buku hadits yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanadnya sendiri (mustakhraj Abi Bakar al-Isma’ili ala Shaih Bukhari).[9]
Masa terakhir yaitu masa pensyarahan, penghimpunan dan pentakhrijan. Masa ini ,erupakan lanjutan dari masa selanjutnya. Dimana ulama mulai menyusun hadist hadist, memperbharui kitab-kitab mustakhrij dengan cara membagi sesuai kualitasnya. Dan mulai menyusun kitab hadist berdasarkan tema. Adapun pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan fiqih sebagaimana yang kita ketahui bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an dan sebagai pelengkap al-Qur’an. semua ahli fiqih dari berbagai aliran dan madzhab di kota-kota besarberpendapat bahwa hadits merupakan pedoman dan suber hukum mereka dalam menetapkan hukum-hukum fiqih serta menjadikan hadits sebagai rujukan hukum fiqih.[10] Dalam menghadapi sebuah persoalan hukum terkait fiqih maka ulama akan mencarinya dalam al-Qur’an dan hadist, namun apabila dikeduanya tidak ditemukan maka para ulama akan melakukan ijtihadnya untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Berikut beberapa dampak pembukuan hadits terhadap perkembangan fiqih adalah sebagai berikut:
a)
Munculnya
madzhab-madzhab fiqih
Munculnya madzhab fiqih dimulai
sejak kejayaan Islamm pada masa Abbasiyah. Diantara madzhab fiqih yaitu madzhab
Imam Syafi’i, madzhab Imam al-‘Auza’i, madzhab Imam Mlik bin Anas dan lainnya.
Namun kemuncylan madzhab tersebut lama-lama menghilang. Tetapi dari banyaknya
madzhab, terdapat beberapa madzhab yang masih ada hingga sekarang yaitu empat
madzhab Sunni ( madzhab Hanafi, Maliki, Hambali, Syafii), madzhab Zaidiyah,
Imamiyah (Syiah), madzhab Ibadhiyah (Khawarij).[11]
b)
Pembukuan hadits
menjadi sumber fiqih
Hadits dapat dijadikan sebagi
sumber fiqih dengan syarat harus meneliti sumbernya yang benar-benar dari nabi.
sebagaimana imam Asy-Syaukani mengatakan
“Keberadaan hadits sebagai hujjah atau sumber hukum syari‟at serta wewenangnya
dalam penetapan hukum-hukum sudah merupakan suatu keharusan dalam agama, tak
ada seorangpun berbeda paham tentangnya, kecuali mereka yang tidak memiliki
cukup ilmu dalam islam[12]
c)
Mempermudah para ulama
dalam berijtihad atu istinbat hukum fiqih
Dahulu sebelum ada pembukuan
hadits, para ulama melakukan ijtihad berdasar pada hadits hadits yang dihal
oleh sahabat dan tabiin. Tetapi hal ini berubah setelah hadits dibukukan,
sehingga para ulama dapat melakukan ijtihad dan istinbath hukum tentang hukum
fikqih melalui kitab haidts yang membahas bab fiqih. Seperti kitan al-Muwattha’
karya Malik bin Anas. Didalmnya beliau menyusun sesuai ba fiqih, memadukan dalil asl dan masalah furu’.
Jadi kitab al-Muwattha’ kitab hadits dan fiqih pertama yang dibukukan.[13]
[1] Dr. Muhajirin, Ilmu-Ilmu Hadits, (Palembang: NoerFikri Offset, 2016),
hal. 18-19
[2] Abu Bakar Abak, Sejarah
Pelembagaan dan Pembukuan As-Sunnah, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 42, No. II,
2008, hal. 296.
[3] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Usul
al-Haadits Ulumuh wa Mustalahuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), hal. 84.
[4] ‘Ajjaj Al Khatib, As-Sunnah Qabla A-Tadwin (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
hal. 92-93.
[5] Munzier Siparta, Ilmu Hadith, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002),
hal. 85.
[6] Ajjaj Al-Khatib, As-Sunnah Qabla al-Tadwin, hal. 329.
[7] M. Rizqillah Masykur, Penharuh
Pembukuan Hadits Terhadap Fikih, Jurnal Al-Makrifat Vol. 4, No. 1, 2019, hal. 79.
[8] Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Ilmu Hadits, (Surabaya: PT: Bina Ilmu, 1985), Hal. 85.
[9] Kusniati Rofiah, Studi Hadits, (Yogyakarta: IAIN PO Press, 2018). hal,
89,
[10] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits (Bandung: Pustaka Setia,
2007), hal. 89.
[11] Tim Batartama, Trilogi Ahlusunah: Akidah, Syariah dan Tasawuf, hal.
203.
[12] Yusuf al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadits Nabi swa, (Bandung:
Karisma, 1999), hal. 47.
[13] Tim Batartama, Trilogi Ahlusunah: Akidah, Syariah dan Tasawuf, hal.
239.






0 comments:
Post a Comment