HUKUM ISLAM DAN KEADILAN
Jusrihamulyono
A.HM
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
abstrak
Hukum islam dipandang sebagai alur terbentuknya keadilan. Al-Qur’an
dan Sunnah dijadikan pondasi kuat sebagai rujukan keadilan dalam menegakkan hukum
ditengah masyarakat. Keadilan merupakan kesatuan dari implementasi dari terbentuk hukum yang benar. Dalam kalangan
umat islam tidak asing dengan kata keadilan, karena merupakan jawaban dari
permasalahan perkara sesame indvidu dalam sosial. Keadilan tidak mesti sama
rata, namun perasaan keadilan terletak pada bukti hukum. Hukum
islam sebagai jalan untuk menegakkan prinsip keadilan melalui
nash Al-Qur’an, Hadist, serta sumber lain yang terdapat pada kajian ilmu ushul
fiqih. Pada intinya konsep awal keadilan
bersumber dari ilahi untuk umat manusia seluruh alam tanpa melihat unsur-unsur
yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
Kata
kunci : Keadilan, Hukum Islam
A.
Pendahuluan
Penegekan hukum islam di tengah
kerancuan hak keadilan yang dirasakan oleh umat islam sendiri membuat suara
umat berkecamuk. Antara realitas dengan berbagai putusan-putusan yang
dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Agama semisal mengenai perkara kekeluargaan.
Masih banyak putusan yang dianggap oleh sebagian masyarakat tidak memunculkan
rasa adil. Jika memacu pada kewenangan yang mengadili perkara umat islam di
Indonesai, maka pengadilan khusus berada di bawah kekuasaan Pengadilan Agama
Islam. Tentu demikian sudah menjadi kewajiban para hakim untuk menegakkan
prinsip keadilan terhadap perkara yang diajukan oleh masyarakat beragama Islam.
Pada ajaran agama islam memberikan isyarat kuat untuk menciptakan nilai-nilai
prinsip keadilan dalam penegakan hukum.
Pandangan masyarakat kita mengenai
hukum akan membawa kepada arah keadilan. Akan tetapi harapan demikian masih banyak
dikeluhkan bahwa hukum yang berwarna keagamaan islam masih jauh pada prinsip
keadilan. Penjelasan keadilan sudah menjadi bahasan yang tidak ada hentinya,
sebab keadilan masih diukur dengan kesamaatraan dan seimbang. Paradigma konsep terhadap
prinsip keadilan dalam hukum islam akan dibahas pada tulisan ini. Bagian tulian
ini akan membahas perihal pengertian, keadilan sebagai keniscayaan hukum islam,
antara keadilan dan pemnyamataraan, dan keadilan dan kebijakan.
B.
Pembahasan
1.
PENGERTIAN HUKUM ISLAM DAN KEADILAN
Hukum dikenal dari asal kata, yaitu (حكم-يحكم) “hakama-yahkumu” dan kemudian berpola pada kata absktraknya
atau masdhar (حكما ) “hukman”. Lafadz (الحكم) “al-hukmu”
berupa kata bentuk tunggal dari bentuk jamak (الاحكام .)” al-ahkam
“ Berdasarkan akar kata ( حكم ) “hakama”
tersebut terbentuk kata ( الحكمة) “al-hikmah“
dengan makna yaitu kebijaksanaan.[1] Sedangkan
hukum dipandang secara istilah menurut ahli ushul adalah khithob (doktirn)
syar’i memiliki hubungan terhadap prilaku mukallaf[2];
baik berbentuk perihal perintah atau berbentuk pilihan..[3]
Zainudin Ali dalam buku Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di
Indonesia beliau menguraikan bahwa hukum berarti memutuskan, menetapkan,
dan menyelesaikan setiap persoalan.[4] Kutbuddin
Aibak, hukum islam adalah rentetan aturan dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul yang
bertujuan mengatur prilaku manusia atau mukalaf untuk mengikuti aturan
agama islam.[5]
Adapun hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu, aturan atau kebiasaan yang dengan dasar keyakinan diakui
mengikat, yang diputusakan dan ditetapkan oleh pemerintah dan penguasa dengan
perwujudan peraturan dan perundang-undangan, serta segala hal yang mengatur
pola kehidupan etika norma bermasyarakat; kadar ketentuan berupa
kaidah; insiden dilingkungan; pertimbangan terhadap putusan pada
penetapan oleh pengadilan atau hakim yang berwenang; serta bentuk hukum berupa
vonis.[6]
Selanjutnya kata islam berasal dari dasar kata yang dibangun dengan
pola bahasa arab yaitu ( أسلم – يسلم - اسلاما ) “aslama-yuslimu-islaman”
dengan urutan bentuk wazn/bentuk
pola kata (
أفعل – بفعل - افعلالا ) “af’ala-yuf’ilu-if’alan” dengan
miliki makna" ألانقياد والطاعة “kepatuhan
dan ketunduhan pada ketenetuan ajaran agama Islam, dan taat terhadap jalan
kedamaian dan kesalamatan”. Kata islam berasal melalui dasar bahasa سلم – يسلم – سلاما - وسلامة “salima-yaslamu-salaman-wa salamatan”
dengan kepunyaan arti selamat (dari
bahaya), dan bebas (dari cacat).[7]
Kata adil (al-'adl) diambil dari tatanan bahasa Arab. Kata
tersebut ditemukan 28 kali di dalam kitab suci Al-Qur’an dengan arti pertengahan.[8]
Asal katanya dari –عدل- عدال—يدل)) meluruskan).[9] Menurut
Ahmad Azhar Basyir, berpendapat bahwa keadilan merupakan menempatkan sesuatu
pada semestinya atau memposisikan sesuatu pada proporsinya yang benar serta
memberikan hak-hak pada orang yang tepat.[10] Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan bentuk kata sifat (perbuatan,
kelakuan, dan sebagainya) yang adil bertujuan “ dia
hanya mempertahankan hak dan ~ nya; Pemerintah menciptakan, bagi masyarakat”,
maksud lain yaitu bekerja secara bersama-sama demi kesatuan masyarakat secara teratur.
Hingga tiap anggota masyarakat mempunyai peluang nyata untuk dapat berkembang serta
hidup pada kekuatan aslinya; adil sama berat; tidak berat sebelah;
tidak condong. Pengertian lain yaitu keputusan hakim itu tetap berpijak
kepada yang haq serta mampu berpegang pada kebenaran dengan selayaknya tanpa
bertingkah sewenang-wenang. [11]
Menurut Ibnu Mukarram Al-Ansari memandang keadilan terhadap kesan akhir
(kesimpulan) yang terletak dalam jiwa, maka sangat perlu dikatakan wajar atau lurus (mustaqim).[12]
Membentuk keadilan merupakan langkah demi mencapai suatu keadilan dalam hukum dengan
memerlukan alokasi waktu yang tidak singkat.[13]
Keadilan dalam hukum islam sudah jelas menjadi acuan utama yang
tidak pernah dipisahkan. Sebab hukum
islam menjadikan tujuan akhir terbentuknya keadilan. Keadilan tidak akan
terbentuk tanpa melalui alur hukum yang dijalurkan islam. Sehingga hal ini
menjadikan hukum islam merupakan roh dari keadilan. Artinya hukum islam tidak
akan hidup tanpa adanya rasa keadilan yang dilahirkan.
2.
KEADILAN SEBAGAI KENISCAYAAN FORMULASI HUKUM ISLAM
Keadilan sudah menjadi aturan kehidupan yang diidamkan bagi seluruh
kalangan masyarakat dalam tingkatan kehidupan bernegara. Namun keadilan di mata
masyarakat terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang, sehingga dibutuhkan
sebuah pegangan yang kuat. Di dalam kalangan umat islam menjadikan sumber
keadilan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Banyaknya ayat-ayat dalam Al-Qur’an
yang membicarakan keadilan. Sehingga keadilan menunjukka makna bahwa Allah
Ta’la sebagai inti keadilan yang kemudian dijalankan melalui petunjuk
penjelasan dari rasul-Nya untuk di amalkan oleh masyarakat agar terbentuk keadilan
di tengah-tengah umat manusia. [14] Hal tersebut sangat Nampak ketika kata al-A’dl ialah menjadi
bagian dari asmaul husnah[15]
yang terletak pada posisi ke-30 dari 99 nama baik Allah. Perintah untuk
bersikap adil sangat jelas ditegaskan bagi hambanya, seperti yang yermaktub
pada kitab Allah Subhana Wata’ala dalam Al-Qur’an. Menyampaikan surat
Al-Hadid ayat 25:
لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ
وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ
بِالْقِسْطِۚ
“Sesungguhnya kami
Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah
kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan.[16]
Dari ayat di atas sangat jelas bahwa konsep awal keadilan bersumber
dari ilahi untuk umat manusia seluruh alam. Dengan demikian banyaknya tuntutan
wajib untuk melakukan keadilan sebagaimana tertulis di ayat Al-Qur’an untuk
menghendaki ditegakkannya keadilan.[17] Sangat
jelas bahwa ajaran agama Islam menuntut hambanya untuk menikmati haknya sebagai
hamba Allah melalui menjaga hak tersebut. Hak tersebut sebagai pemenuhan dalam
melengkapi rasa yang ahrus dimilikinya dalam menjalani kehidupan. Makna ini dengan
dasar hak yang sama dimiliki oleh manusia berupa hak agama, hak jiwa, hak akal,
hak kesalamatan harta, hak pada keturunan[18]
Semua ketentuan hukum Islam itu didasari dengan maksud demi tercapainya sebuah tujuan (muqasid). Sebab pada kehendak hukum (Al Hakim) merujuk pada hak prioritas manusia dalam menjaga ketentraman (maslahah) pada hak agama indvidul, ketentraman pada jiwa, kebebasan terhadap akal, kedamaian dalam mengurus keturunan, dan keamana dalam menjaga harta benda yang dimiliki. Jika terdapat hukum tidak lagi berperan aktif dalam mewujudkan hak mashalah tersebut. Maka sangat perlu dilakukan usaha atau ijtihad untuk pembaharuan berupa jalan hukum yang memiliki potensi terbentuknya tujuan syariat yakni “maslahah” atau nama lain dari kemaslahatan umat manusia. Pada pandangan Asy-Syatiby mengutarakan maqasid syari’ah dengan lahirnya formasi maslahah menjadikan sebab dari “kebaikan dan kesejahteraan”.[19] Hubungan demikianlan keadilan dalam hukum islam diikat dengan istilah maqashid al-syari‘ah bermakna kemaslahatan, dilihat maqashid al-syari’ (tujuan syariat dari ilahi) maupun maqashid al-mukallaf (tujuan orang yang dibebani sebuah hukum) agar terbentuk keadilan yang mengarah pada kebaikan umat manusia. Adapun maqashid al-syai‘ah pada posisi tujuan kepada Tuhan mencakup empat hal:[20] 1. Hal pertama penetapan dalil Syari’ dari Allah dan Rasul-Nya, yang menjadikan tuntunan syari’ah itu sebagai tujuan kebaikan pada dunia dan akhirat; 2. Hal tutunan syari’ah menjadi bentuk aturan yang harus diketahui oleh semua manusia; 3. Hal tuntunan syari’ah menjadi hukum taklîfi (yang dibebani hukum) penerapan hukum yang harus dilakukan; 4. Hal tuntunan syari’ah terbentuknya hukum manusia agar mnenghindari dari terbentuknya hukum yang mengarah pada sikap condong pada keinginan sendiri.
Subtansial ini menjadikan maashid
syaria’ah sebagai pisau metode dalam menciptakan keadilan dalam hukum islam
untuk perkara umat islam. Tujuan demikianlah yang dihimbau dalam islam sendiri
agar terbentuknya keadilan yang semata berdasarkan tujuan Ilahi dan Rasul.
3.
ANTARA KEADILAN DAN PENYAMATARAAN
Menurut Fence M. Wantu berpendapat dalam ukuran
keadilan berawal dari kata adil, dengan pokok inti berupa penempatan sesuatu
pada posisi untuk memberikan haknya terhadap para yang merasa memiliki hak
tersebut. Berdasarkan pada perlawanan untuk menguasai hak, maka perlu disadari
bahwa dasar bahwa setiap individu mempunya hak yang setara di hadapan hukum (equality
before the law).[21]
Pada pandangan lain dari L.J Van Apeldoorn, keadilan hukum bukan perihal pada
sudut pandang kesamaan atau bukan dengan istilah keadilan menjadikan tiap-tiap
orang mendapatkan bagian yang sama.[22]
Meskipun dalam pandangan ilmu hukum dengan sebuah asas keadilan berarti kesamaan (equality), asas
dengan tujuan mendapatkan kebebasan dan peluang yang sama.
Perbincangan keadilan dalam contoh di dalam Al-Qur’an dapat
ditemukan ada pembagian waris. Dimana seorang laki-laki memperoleh bagian dua
dari perempuan atau nama dalam perbandingan disebut dengan dua banding satu.
Persoalan ini menjadi dalil yang terdapat QS. al-Nisa’ 11, walaupun sudah ditegaskan secara jelas (qath’i),
tetap diperlukan penafsiran bahwa berhak berhak mendapat status laki-laki atau perempuan.
Sebab memiliki kemungkinan bahwa seorang laki-laki bukan berarti ditinjau dari
jenis kelamin semata namun bisa dinilai melalui aspek perannya. Apabila perempuan lebih banyak berperan dalam mencari
nafkah atau kebutuhan keluarga, membantu saudara serta melayani orangtua atau
menolong keluarga lainnya, maka bisa jadi perempuan tersebut dihukumi persamaan
makna menjadi laki-laki dan berhak
mendapatkan dua bagian. sementara laki-laki memperoleh satu bagian. Oleh
karena itu dibutuhkan berupa interpretasi terhadap makna dalil-dalil dan bukti
nyata dari bersangkutan. Metode yang lain bisa dilalui dengan cara jalur
perdamaian (al-sulh) diantara para ahli waris tersebut. Kedua jalan ini
mampu meengatasi kadar hak waris bagi perempuan tanpa merubah ketentuan syariat
Allah yang tertulis dalam Al-Qur’an.[23] Khususnya
di Negara kita yang berpedeoman pada hasil akhir dari hakim di Pengadilan
Agama.
Disisi kemepamatan lain yang dapat menjadi sebuah harapan besar
pada perempuan-perempuan untuk diangkat menjadi hakim sebagai pemutus persoalan
perdata tertentu yang ada kaitannya dengan hukum Islam. Kepastian lain bias
mengambil pandangan dari menganut paham Imam Abu Hanifah. Untuk mendukung
pendapat tersebut, bahwa persoalan hukum kekeluargaan (akhwal al-Syakhshiyah)
sebagai salah satu bagian dari hukum perdata Islam banyak menyangkut hal-hal
yang berkaitan dengan kepribadian perempuan, dan yang paling mengetahui hal-hal
tersebut adalah perempuan itu sendiri.[24]
Salah satu contohnya adalah Undang-undang Perkawinan Indonesia
tahun 1974: tentang syarat berpoligami, sebagaimana tercantum dalam pasal 4-5
yang berbunyi: pasal 4 ayat 2 dengan aturan yaitu pengadilan hanya memberi izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (a)
istrinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, (b) istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan (c) istri tidak
dapat melahirkan keturunan . Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
pengadilan, sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 di atas, harus dipenuhi
syarat-syarat: (a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri, (b) adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan istri dan anak-anak mereka,dan
(c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak
mereka (pasal 5: 1).[25]
Keadilan yang dicontohkan di atas memberikan isyarat bentuk realisasi dari
tujuan syari’ah dalam menyebarkan keadilan, khususnya memberikan perlindungan
hak kepada istri atau perempuan yang dipoligami mendapatkan perhatian yang
ketat. Syarat yang dinubuatkan dalam aturan di atas sama sekali tidak menutup
jalan untuk berpoligami, namun hanya saja sebagai benteng untuk perempuan dalam
menjaga kebutuhan yang harus dimilikinya.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan
persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai hamba ( QS. Al-Zariyat ayat 56),laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai khalifah di bumi.(QS.Al-Baqarah:30), laki-laki dan perempuan
sama-sama menerima perjanjian primordial (QS. Al-A’raf:172, Adam dan hawa
sama-sama aktif dalam drama kosmis bukan Hawa yang mempengaruhi Adam untuk
makan buah Huldi melainkan sama-sama tergoda dan sama-sama pula bertaubat
kepada Allah (QS.Al-‘A’raf: 20 sampai 23), laki-laki dan perempuan berpotensi
untuk meraih prestasi optimal (QS.Al-Nahl:97).[26]
4.
ANTARA KEADILAN DAN KEBIJAKAN
Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang
bulu. Kemestian berlaku adil mesti ditegakkan di dalam keluarga dan masyarakat
Muslim, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil[27]
sebagai catatan penting, para fuqaha dan terutama Al-Syatibiy dalam Al-Muwafaqat
fi Usulil Ahkam menengahkan konsep bahwa pada hakekatnya syariat itu ajaran
hukum yang diuraikan dengan wahyu. Untuk memahami nilai-nilai kebenaran dan
keadilan dalam hukum , maka harus terlebih dahulu mengetahui makna atau arti
dari kebenaran dan keadilan itu sendiri. Para ilmuwan masih berbeda pendapat
dalam hal memberikan arti keadilan, sebab belum ada rumusan yang dapat diterima
oleh semua pihak. Seorang Hakim harus dapat mengikuti dan menghayati terjadinya
perubahan nilai dalam hubungan kemasyarakatan. Melalui interpretasi yang baik,
maka hokum akan tetap hidup dari masa ke masa dan memberikan rasa keadilan bagi
mereka yang mendambakannya.[28]
Dalam tataran epistimologi istilah akal dan hawa dipakai sebagai
istilah yang kontras dengan syariat. Baginya bahwa: a. Hukum itu tidak boleh
didasarkan atas kesenangan pribadi, b. Nilai-nilai yang mendasari syariat tidak
ditentukan oleh akal manusia, c. Syariat bersifat absolut dan universa.[29] Dalam
pasal 1 Undang-Undang kekuasaan kehakiman,dan demikian juga dalam pasal-pasal
27 dan 37, dengan jelas dicantumkan bahwa peradilan diselenggarakan " ....
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila .... ".
Dari perumusan demikian dirasakan atau tidak pada saat ditetapkan sehingga
penerapan serta akibatnya agak nampak dirasakan, hal ini sejalan pandangan
ilmiah dalam kajian ilmu akademis yaitu Pengantar Ilmu Hukum dan Filsafat
Hukum.
Melewati penafsiran yang bijak, keadilan dalam hukum islam tetap
akan hidup dari masa dulu hingga sekarang. Nampak nyata menjadikan kekuatan
hakim dalam menegakkan putusan serta penetapan dalam perkara dengan
indenpendensinya. Indenpendensi hakim agar terwujudnya sebuah keadilan,
kepastian hukum, dan kemanfaatannya. Inilah yang ditemukan pada akhir putusan
dan pentepan pada lembaran disekeliling kehidupan peradilan. Hakim (qadhi) berkewajiban mengikuti alur
sebagaimana yang terdapat di ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
R.I. Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan tugas acuan diri
seorang hakim bahwa untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Begitu
pula dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang tersebut dikatakan bahwa “ Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat“.[30]
Hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman, harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.[31]
Tugas hakim pada dasarnya adalah memberi keputusan dalam setiap perkara
(konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum
, nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum pihak- pihak yang
terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.[32]
Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang
berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun,
termasuk pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya
terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau
dijadikan landasan yuridis keputusannya.[33]
Keadilan seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap tegaknya
stabilitas kehidupan rakyat. Ancaman terhadap stabilitas yang paling utama dalam
suatu
negara justru disebabkan munculnya perasaan rakyat
yang diperlukan tidak adil. Lebih-lebih bila
rasa tidak adil itu sudah makin mengendap dalam batin rakyat, maka
dikhawatirkan sewaktu-waktu bisa berkobar menjadi prahara nasional yang ditandai dengan maraknya unjuk rasa, munculnya kekerasan,
kerusuhan, dan perbuatan makar. Karena itu
menjaga stabilitas yang sesungguhnya adalah dengan menegakkan keadilan yang
sebenar-benarnya.[34]
Sebuah konsep dari nabi melalui jalur Abu Hurairah dalam periwayatan Al-Nasa’iyang
tertulis dalam sanad. Rasulullah SAW bersabda: Imam itu adalah perisai yang
dipertahankan (dibela) ia di bekalangnya, dan berlindung dengannya, maka jika
ia memerintah dengan takwa dan adil, maka itu adalah pahala baginya, dan jika
ia memerintah bukan dengannya, maka ia mendapatkan dosanya.” (Muslim bin
Hajjaj, Shohih Muslim).
Dari isyarat di atas sangat jelas menjadi acuan. Prinsip keadilan
seorang penguasa tentu berdasarkan sebuah keyakinan yang kuat berdasarkan
sumber dari Tuhan dan Rasulnya. Menciptakan keadilan dalam menegakkan suara
hukum memerlukan sebuh kesungguhan yang serius. Sebab keadilan akan terjadi
ketika kebijakan yang dibuat oleh pemimpin atau hakim ini selurus dengan aturan
yang berlaku serta kebutuhan masyarakat.
5. KEADILAN
DAN KEKEBALAN HUKUM
Manusia memandang bahwa tujuan keadilan ada pada
kekuatan bagi mereka menggenngam sebuah kepemimpinan dan juga berada pada suara
umat islam.[35] Pemahaman yang menjadi sasaran bahwa posisi keadilan sebagai
keadaan pada perwujudan kehendak para hakim. Dalam menciptakan rasa adil dalam tubuh
hukum, memerlukan proses waktu yang tidak singkat dengan alasan bahwa kebijakan
hakim kembali pada asas pembuktian yang menyebabkan penentuan keadilan untuk
kedua pihak. Langkah ini sering menjadi dominasi pada kekuatan suara yang memperjuangkan
sistem rangka lingkungan politik sehingga mampu teraktualisasikan.[36] Disisi
lain pemengenalan asas “oportunitas” sangat jarang digunakan utama pada
penyelesaian persoalan-persoalan hukum yang bersifat terbuka atau menyertakan
persoalan hukum rakyat sosial bawah. Demikian ini menjadikan subjek hukum yang seharunya
dilindungi oleh asas tersebut, akan tetapi tidak direlasasikan untuk melindugi
serta dapat menunjukkan pada berbagai atas persoalan-persoalan besar. Tapi pada
kenyataan seorang pelaku tunggal yang secara kondisi seharunsnya tidak
semestinya dianggap sebagai pelaku akan tetapi dijadikan sebagai pelaku perkara
kakap tersebut.[37]
Pada titik kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dapat
dituntut. Pada pasal 35(c) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
dengan sangat sikap bijak untuk menjadikan kebebasan asas oportuniti ditegakkan
pada di Indonesia. Pasal itu berbunyi “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu
perkara berdasarkan kepentingan umum.”
Posisi lain untuk menyampingkan kasus dengan dasar terhadap
oportunitas. Asas oportunitas sebuah kajian landasan penuntut umum memiliki arti
otoritas untuk tidak menuntut suatu perkara dihadapan persidangan pengadilan meski
alasan kepentingan umum atau hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk
medeponir perkara-perkara pidana. Meskipun persoalan yang bersangkutan memiliki
bukti dan alasan agar diperiksa dan diajukan dihadapan persidangan pengadilan. Bukti
dan fakta yang ditemukan, menjadi salah satu pegangan terdakwa salah satu
alasan dapat dijatuhi hukum. Walaupun dengan buti serta fakta yang cukup dimiliki
oleh penuntut umum, namun pada prinsipnya disampingkan dan tidak dilimpah kepada
pengadilan oleh pihak penuntut umum meski dengan pertimbangan demi kepentingan
umum.[38]
Di atas demikian menjadi sebuah teori pada hukum pidana yang
berlaku di Indonesia. Asasn oportunit juga memiliki keasamaan pada hukum pidana
Islam seperti merusak harta orang, prilaku lesbian dan homo (perzinaan), menuding
orang yang berprilaku baik melakukan zina (al-qadzaf), meminum yang
mengandung zat mabuk atau menghilangkan akal (khamar), melukai hingga
menyebabkan membunuh seseorang, mencuri barang orang, berbuat kerusakan yang
menyebabkan kekacauan atau menghilangkan nyawa serta berbagai kaitannya dengan
hukum kepidanaan.[39] Contoh diatas tidak akan di adili sehingga
terpenuhinya bukti dan sanksi. Tujuan demikian agar menjaga hak keadilan
bersuara menegakkan hak pelaku.
C. Kesimpulan
Keadilan sebagai bentuk pertengahan dari
dua pilihan yang harus mendapatkan porsi seimbang. Kata adil tidak mesti sama
rata dalam bentuk kaar penjumlahan, akan tetapi menjadi sebuah ukur untuk
bersikap seimbang terhadap pemenuhan dua posisi. Adapun hukum islam menjadi
bentuk aturan dari sumber-sumber yang jelas (qathi) serta sumber hukum
di tengah perkembangan ilmu fiqih. Garis yang dapat diambil dari pengertian
keadilan dan hukum islam ialah aturan yang dibuat berdasarkan sumber-sumber
malalui metode dalam perumusan hasil yang seimbang. Hukum islam sebagai jalan
untuk menegakkan prinsip keadilan melalui nash
Al-Qur’an, Hadist, serta sumber lain yang terdapat pada kajian ilmu ushul
fiqih. Pada intinya konsep awal keadilan
bersumber dari ilahi untuk umat manusia seluruh alam tanpa melihat unsur-unsur
yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Gazali, Alhadharah, Maqasid Al-Syariah dan Reformulasi
Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 18, No. 2
2019.
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam,
terj, Pustaka Amani, Jakarta, 2003.
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam,
Yogyakarta, UII Pres, 2000.
Ahmad Warson Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis,
Bandung, Nuansa dan Busamedis, 2004.
Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA,
Vol. 1, No 2, Juli 2018, 3-5. P-ISSN
1979-2824
Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA, Vol. 1,
No 2, Juli 2018.
Fence M. Wantu, Mewujukan Kepastian Hukum,
Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal
Dinamika Hukum, Gorontalo Vol. 12 No 3, September 2012.
Fuji rahmadani, Teori
Keadilan: Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam Dan Barat, Jurnal
Ilmu Syari’ah, Perundang-Undangan Dan Hukum Ekonomi Syari’ah, Edisi 1, 2018.
Ibnu mukarram al-Ansari, Lisan Arabi, Mesir: Dar al-mishriyah jilid 13-14, t.t .
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya, Lathifah
Press, 2009.
Khadduri, Majid , Teologi Keadilan Perspektif Islam,
Surabaya, Risalah Gusti, 1, 1999.
Kutbuddin Aibak, Otoritas dalam Hukum Islam (Telaah Pemikiran
Khaled M. Abou El Fadl). Disertasi. Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2014.
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum,
terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993.
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Cet. Keenam, Bandung, 1993.
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Muhammad Fu'ad Abd al-Baqiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz
Al-Qur'an alKarim, Beirut, Dar al-Fikr, 1981.
Muhammad Iqbal, Implementasi efektifitas Asas Opotunitas di
Indonesia dengan Landasan kepentingan Umum, Jurnal Surya Kencana Satu :
Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 9 No. 1 Maret 2018.
Nursidik, Kebenaran dan keadilan dalam putusan Hakim, dalam
Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 74, 2011.
Rohidin, Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Hingga
Indonesia. Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2016.
Salinah, Penerapan Asa Oportunitas Dalam Hukum Pidana Di
Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, LEGALITE. Jurnal Perundang Undangan
dan Hukum Pidana Islam, Volume I. No. 01., 2016
Sarifa suhra, Kesetaraan Gender dala perspektif al-Qur’an dan
implikasinya terhadap hukum islam. Jurnal al-ulum, V,13, No,2 2013.
Setiawan, Pengaruh Yurisprudensi terhadap Peraturan
Perundang-undangan (dalam Mengapa Putusan Pemidanaan Hakim Cenderung Lebih
Ringan Daripada Tuntutan, Edy Wibowo), Varia Peradilan, tahun ke XXII Nomor
257, April 2007.
Tamyiez Dery, Kaeadilan dalam islam, jurnal mimbar,
Volume, XVIII , No 3, 2002.
Umar Shihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I;
Semarang, Dina Utama, 1996.
Yubsir, Maqashid Al- Syari’ah sebagai Metode Interpretasi Teks
Hukum: Telaah filsafat Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah, V XI, No 2, 2013.
Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, 2006.
Undang-undang Perkawinan UU No. 1/1974, PP No. 9/1975 dan PP No.
10/1983, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.
UU
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[1] Rohidin, Pengantar
Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia. Lintang Rasi Aksara
Books, Yogyakarta, 2016, 1.
[2] Hukum-hukum
syara' yang ditetapkan itu ialah mengenai perbuatan manusia (mukallaf).
[3] Abdul wahhab
khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, Terj, Pustaka Amani, Jakarta,
2003,136
[4] Zainudin Ali,
Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2006, 1.
[5] Kutbuddin
Aibak, “Otoritas dalam Hukum Islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl)”.
Disertasi. Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2014. 94.
[6] https://kbbi.web.id/hukum
[7] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997, 654.
[8] Muhammad Fu'ad
Abd Al-Baqiy, Al-Mu'jam Al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur'an A-lkarim, Dar Al-Fikr, Beirut,
1981, 448 – 449.
[9] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, 1997, 905.
[10] Ahmad Azhar
Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, UII Pres, Yogyakarta, 2000, 30.
[11]
Https://Kbbi.Web.Id/Adil
[12] Ibnu Mukarram
Al-Ansari, Lisan Arabi, Mesir: Dar
Al-Mishriyah Jilid 13-14, T.T , 456
[13] Fuji Rahmadani,
Teori Keadilan: Kajian dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam dan Barat, Jurnal
Ilmu Syari’ah, Perundang-Undangan dan Hukum Ekonomi Syari’ah, Edisi 1, 2018, 62.
[14] Tamyiez Dery, Kaeadilan dalam Islam, Jurnal Mimbar,
Volume, XVIII , No 3, 2002, 338.; Khadduri, Majid , Teologi Keadilan Perspektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1, 1999
[15] bahasa Arab: الأسماء
الحسنى, translit. al-asmā’
al-ḥusnā) adalah nama-nama Allah, Tuhan
dalam Islam, yang indah dan baik. Asma berarti nama (penyebutan) dan husna
berarti yang baik atau yang indah, jadi asmaulhusna adalah nama nama
milik Allah yang baik lagi indah.
[16] Menurut
qiraishab: “Kami
benar-benar telah mengutus para rasul yang Kami pilih dengan membawa beberapa
mukjizat yang kuat. Bersama mereka juga Kami turunkan kitab suci-kitab suci
yang mengandung hukum, syariat agama, dan timbangan yang mewujudkan keadilan
dalam hubungan antarmanusia”. Tafsir Al-Misbah. https://tafsirq.com/57-al-hadid/ayat-25#tafsir-quraish-shihab
[17] Lihat Dalam
Al-Qur'an Surat Al-Hadid Ayat 25, Surat Al-Nahl Ayat 90, Surat Yunus Ayat 13,
Surat Al-Naml Ayat 52, Surat Al-Israa Ayat 16, Surat Al-Nisaa Ayat 58, Surat
Al-Maidah Ayat 8, Surat Al-A‟Raf Ayat 96.
[18] Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif
Islam, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, 2018, 3-5.
[19] A. Gazali,
Alhadharah: Maqasid Al-Syariah dan Reformulasi Ijtihad Sebagai Sumber Hukum
Islam Jurnal Ilmu Dakwah, 2019 Vol. 18, No. 2, 20.
[20] Yubsir,
Maqashid Al- Syari’ah sebagai Metode Interpretasi Teks Hukum: Telaah filsafat
Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah, V XI, No 2, 2013, 242.
[21] Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan
dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika
Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3, September 2012, 484.
[22] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj.
Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. 11.
[23] Umar Shihab,
Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1996, 119.
[24] Sarifa suhra,
Kesetaraan Gender Dala Perspektif Al-Qur’an aan Implikasinya Terhadap Hukum
Islam. Jurnal Al-Ulum, V,13, No,2 2013, 390.
[25] Undang-undang
Perkawinan (UU No. 1/1974, PP No. 9/1975 dan PP No. 10/1983, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1986, 8.
[26] Sarifa suhra,
Kesetaraan Gender Dala Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Hukum
Islam. Jurnal Al-Ulum, 392.
[27] Juhaya S.
Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya, Lathifah Press, 2009, 73.
[28] Setiawan
Pengaruh Yurisprudensi terhadap Peraturan Perundang-undangan (dalam Mengapa
Putusan Pemidanaan Hakim Cenderung Lebih Ringan Daripada Tuntutan, oleh
EdyWibowo), Varia Peradilan, Tahun ke XXII Nomor 257, 2007, 36.
[29] A. Gazali,
Alhadharah: Maqasid Al-Syariah dan Reformulasi Ijtihad Sebagai Sumber Hukum
Islam, 19.
[30] Nursidik,
Kebenaran dan keadilan dalam putusan Hakim, dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan,
Edisi No. 74, 2011, 2-3.
[31] Pasal 5 ayat
(2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[32] Lili Rasjidi,
Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam, Bandung, 1993,
99.
[33] Ibid.
[34] Fauzi
almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, 2018, 135.
[35] Ali Abdul
Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas, Tanggung Jawab Muslim,243.
[36] Carl Joachim
Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Busamedis,
2004, 239.
[37] Muhammad Iqbal,
Implementasi Efektifitas Asas Opotunitas Di Indonesia Dengan Landasan Kepentingan
Umum, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan Vol. 9 No.
1, 2018, 87
[38] M. Yahya
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan
Jakarta, Sinar Grafika, 2009, 436
[39] Salinah,
Penerapan Asa Oportunitas Dalam Hukum Pidana Di Indonesia Ditinjau Dai Hukum
Islam, LEGALITE. Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam, Volume I.
No. 01., 2016, 69.






0 comments:
Post a Comment