Alasan Cerai dalam Hukum Positif
Sangat perlu dipahami di era sekarang banyaknya pasangan suami-istri yang mengakhiri hubungannya di Pengadilan. Tidak diketahui secara pasti alasan yang dilontarkan para pihak yang berperkara. Untuk itu beberapa alasan yang dipertimbangkan oleh hakim yang bersumber dari hukum positif.
Regulasi yang berlaku di Indonesia berkiblat pada hukum yang berlaku atau disebut juga dengan hukum positif. Membicarakan perkara perkawinan tidak berhenti pada kebahagian semata, ada keadaan tertentu yang mengharuskan sebuah ikatan perkawinan terputus. Terputusnya ikatan perkawinan sendiri diatur secara jelas di perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
baca juga suara hak waris istri kedua
Dalam hukum perdata, penjelasan perceraian diartikan sebagai bubarnya perkawinan. Beberapa alasan yang dapat menyebabkan bubarnya perkawinan atau cerai terdapat dalam Pasal 199 KUHPer yang diuraikan sebagai berikut:
1) Kematian salah satu pihak; 2) keadaan tidak hadirnya suami atau istri selama 10 tahun diikuti dengan perkawinan baru si istri atau suami setelah mendapat izin dari hakim sesuai dengan Pasal 494; 3) karena ada putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil; 4) karena kematian sala satu pihak. Adapun pada keadaan perceraian yang tidak didahului dengan alasan perpisahan meja dan ranjang merujuk pada Pasal 209 KUHPer. Dijelaskan dalam pasal tersebut yaitu:
1) zina, baik yang dilakukan oleh suami atau istri; 2) meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja; 3) suami atau istri dihukum selama 5 Tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan; 4) salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami/istri).
Pada Pasal 38 Undangan -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena tiga hal, 1) pihak meninggal dunia; 2) karena perceraian; 3) karena putusan pengadilan. Lanjut pada Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yang kuat untuk tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim untuk memaknai tidak sakinahnya pada sauatu pernikahan. Ketentuan pasal diatas dipertegas pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan perceraian adala 1) salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, dan lain-lain sebagaimana yang sukar disembuhkan; 2) salah satu pihak meningkalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan alasan yang sah atau Karena hal lain di luar kemauannya; 3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setalah Perkawinan berlangsung; 4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; 6) antara suami istri terus menerus menjadi persilihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Baca juga 4-cara ampuh menyelesaikan konflik
Sedangkan alasan perceraian yang tertuang di KHI (kompilasi hukum Islam) pada Pasal 166 terdapat dua alasan yaitu : 1) suami melanggar taklik talak; 2) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Hukum Islam sendiri terlebih dahulu menetapkan alasan perceraian. Alasan perceraian dalam hukum Islam disebabkan karena pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa dengan istilah "syiqaq" sebagaimana tertera pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 35. Alasan perceraian dalam hukum Islam sangat jelas. Secara garis beras hukum Islam membagi perceraian disebut dengan istilah thalaq dan fasakh. Alasan yang bisa dijadikan suami ketika ingin mencerai melalui alasan nusyuz (istri pembangkang).
Dari beberapa alasan di atas yang menjadi dalih dalih untuk bercerai di hadapan hukum atau majelis hakim. Sebab perceraian yang sah dan diakui di negara kita ialah perceraian yang dilangsungkan dihadapan majelis hakim.
Mengenal Ilmu Mantiq
Buku panduan untuk bernalar merangkai ungkapan hal-hal yang dicari kebenarannya. Buku yang menjadi salah satu rujukan bagi kalangan ahlira'yu (rasional analitik). Ilmu yang sudah dijelajahi oleh kalangan pelajar seperti santri pada saat mondok. Tidak berhenti sampai jenjang tersebut, ilmu Mantiq ini sangat berkontribusi pada bidang keilmuwan ditingkat Perguruan TInggi atau Universitas. Ada beberapa jurusan keilmuwan yang membutuhkan ilmu tersebut dalam penerapan ilmunya seperti ilmu hukum, ahwal syakhsyhiyyah, hukum keluarga Islam, studi Islam dan masih banyak lagi. Erat kaitannya dengan program studi dengan pokok bahasan yang disajikan dalam ilmu Mantiq.
Buku diatas dikomentar langsung oleh orang yang berpangaruh besar pada bidang keilmuwan filsafat Islam yaitu Dr. Faruddin Faiz. Perjuangan seorang Muhammad Nuruddin, alumni Al-Azhar Kairo mampu merangkai dari bab awal hingga akhir sampailah tulisan ini utuh dan bisa dipahami. Tulisan ini tidak mereview buku ini, namun mengarah pada pandangan pentingnya belajar ilmu Mantiq.
Ilmu Mantiq penting gak sih?
Penting tidak penting kembali kepada sudut pandang setiap orang yang berfikir. Dalam hemat saya, orang yang menganggap penting ilmu Mantiq beranggapan bahwa ini adalah ilmu untuk menyusun sebuah arah tindakan yang disetir oleh pikiran itu sendiri. Sebagai contoh kecil, seorang membakar mushaf (lembaran) Al-Qur'an, maka Reaksi kita apa?. Tentu akan muncul sekiranya dua reaksi, yang pertama, tindakan mengutuk orang tersebut dan kedua tindakan membiarkan saja. Perbedaan tindakan tersebut ini karena perbedaan sudut pandang. Orang yang mengutuk perilaku orang membakar mushaf karena kurang mendalami alasan membakar. Orang yang membiarkan sebagai tindakan agar mushaf tersebut tidak tercecer dan terinjak-injak. Begitulah gambaran sederhana terkait hubungan ilmu Mantiq dengan kehidupan kita. Hemat sederhana saya, sebagai ilmu dasar untuk mengambil sebuah keputusan terhadap setiap persoalan hidup atau hal hal yang dihadapkan pada level keraguan.
Ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam karyanya Al- Mustafa hal. 10 menegaskan bahwa orang yang tidak mempelajari ilmu Mantiq, kredibilitas keilmuannya patut dipertanyakan. Alasan logis layaknya orang berfikir bebas tanpa batas sehingga hasil pikiran tersebut mengarah pada berfikir seenaknya yang memicu kerusuhan dan menyusahkan banyak orang.
baca juga paradigma integrasi ilmu
Era sekarang ditemui banyak persoalan kompleks tanpa terarah pada tahap penyelesaian. Ada persoalan yang dianggap selesai namun berlanjut di hari yang akan datang. Ini semua tidak luput banyaknya keputusan yang diambil tanpa melalui kaidah-kaidah berfikir. Hal tersebut menjadi peran penting ilmu Mantiq untuk dipelajari.
Inti belajar Ilmu Mantiq
Pada inti belajar ilmu Mantiq akan dihadapkan dua bab besar penting dalam memahami sesuatu. Bab pertama Tashawwurat (konsepsi-konsepsi memahami), Yang diarahkan ada tiga bagian utama yaitu pertama tashawwur (concept atau gambaran), kedua tashdiq (Assentment atau pernyataan), dan ketiga Dalalah (makan kebahasaan dan istilah).
Bab Dua, Tasdhiqat (proposisi-propisisi). Bagian ini akan diarahkan pada pemahaman yang mengandung unsur pembenaran dan penghukuman. Suatu narasi dan ucapan mengandung unsur pernyataan dalam ilmu Mantiq disebut dengan qadhiyyah. Qadhiyyah akan dibagi menjadi bermacam-macam berdasarkan subjek, kualitas serta kuantor.
Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis adalah mengantarkan kita pada kesimpulan yang tidak didapatkan sekadar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan adanya logika (nalar) yang logis berhubungan dengan satu proposisi atau premis yang banyak. Ilmu Mantiq ini pada akhirnya mengantarkan untuk berfikir dan memberi kesimpulan kebenaran tanpa adanya pembenaran.










