blog ini memberikan ulasan ilmu-ilmu menjadi wawasan baru anda seperti Ilmu Hukum, Hukum Keluarga, Psikologi Keluarga, Kesehatan Keluarga, Ilmu Sosial, Dunia Pendidkan.

5 Perihal Didiskusikan Sebelum Menikah


Dalam sebuah ikatan pernikahan yang utuh diawali dengan sebuah perencanaan yang baik. Perencanaan sebelum menikah sebagai ancang ancang pribadi memilih untuk hidup dalam bingkai aturan bersama. Penting bagi pasangan yang hendak menikah untuk memantapkan 5 Perihal. 


Berikut 5 hal yang segara didiskusikan sebelum menikah:

1. Tinggal bersama dimana?

Pemilihan tempat tinggal setelah berkeluarga menjadi perbincangan serius. Sebab seyogyanya menjalani kehidupan bersama pasangan ketika di tempat tinggal sendiri akan lebih terstruktur secara mandiri. Dengan memilih tempat tinggal sendiri, kebebasan dalam merencanakan sesuatu dapat secara leluasa dan tenang. Berbeda dengan hidup bersama keluarga besar salah satu pasangan, terdapat kecanggungan untuk menetapkan sesuatu.

Mendiskusikan tempat tinggal setelah menikah dengan calon pasangan tentu hal lumrah. Demi kenyamanan bersama, tempat tinggal sangat mempengaruhi kehidupan pasangan. Agar lebih memudahkan dalam menentukan pilihan hidup bersama setelah menikah maka sebaiknya tempat tinggal didiskusikan sebelum menikah. Sehingga setelah menikah telah terbayang dan hanya menjalankan. 

Beberapa pertimbangan dalam memilih tempat tinggal seperti:
  • Jarak lokasi tempat kerja
  • Tetangga sekitar
  • Pembiayaan sehari-hari
  • Keamanan lingkungan 

2. Arah tujuan rumah tangga

Arah tujuan rumah tangga tentu menjadi tema setiap pasangan. Bagaimana model rumah tangga yang dijalani?, Visi misi rumah tangga?, Kebersamaan bilamana pasangan sama sama memiliki profesi?. Pernikahan selalu memiliki tujuan bersama. Untuk itu, mendiskusikan arah tujuan rumah tangga sebelum menikah menjadi jawaban banyaknya ketidaksediaan setelah menikah.  Rumah tangga yang memiliki arah tujuan yang jelas akan secara sistematis dalam pengelolaan seperti ekonomi keluarga, pendidikan anak, hingga jangka masa tua kelak.

3. Perencanaan ekonomi 

Finansia keluarga menjadi pondasi kokohnya rumah tangga. Realitas kehidupan yang memiliki ekonomi rendah cenderung mengalami konflik internal. Dan tidak sedikit keluarga bubar disebabkan oleh finansial rumah tangga. 

Perencanaan ekonomi lebih pada titik prioritas kebutuhan keluarga seperti pendidikan, tempat tinggal, hingga persiapan masa tua. Mendiskusikan masalah keuangan sebelum menikah adalah langkah yang tepat untuk mengantisipasi hal-hal setelah menikah. Tentu perbincangan masalah ekonomi berdasar pada pekerjaan pasangan. Mengenal pekerjaan pasangan akan memudahkan dalam memahami konsekuensi penghasilan setelah berumahtangga.


4. Perencanaan keturunan 

Keturunan menjadi sebab akibat setalah pernikahan. Setiap manusia memiliki keinginan besar dalam memiliki keturunan. Dalam perencanaan keturunan tidak sebatas akan berapa jumlah anak yang akan direncanakan. Namun, akan berlanjut pada bagaimana pola asuh anak, pendidikan anak, biaya anak hingga mampu.

Keturunan akan tergambar dari hasil didikan orangtua. Mendiskusikan keturunan bersama calon pasangan sebelum menikah akan menggambarkan persiapan lebih matang lagi. Untuk itu keturunan sebagai aset termahal bagi orangtua dikala masa tuanya.

5. Lingkungan pekerjaan 

Setiap pasangan menginginkan mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Perihal lingkungan pekerjaan sebagai upaya dalam mengenal keseharian pasangan dalam dunia kerja. Seperti lokasi pekerjaan, waktu kerja, teman kerja hingga penghasilan. 

Mengatahui lingkungan pekerjaan pasangan tidak lepas sebagai perhitungan prioritas kebersamaan setelah menikah. Sebab waktu pekerjaan yang panjang akan berpengaruh pada kebersamaan. Lokasi pekerjaan akan berpengaruh pada perhitungan akomodasi dan bisa saja pada hubungan jarak jauh. Teman kerja akan berpengaruh pada sikap keseharian pasangan.

Dari 5 Perihal yang harus didiskusikan sebelum menikah. Manakah hal yang paling penting untuk segera ditentukan bersama calon pasangan nii......tulis di kolom komentar yahh 🙏👍
Share:

Pendidikan Karakter Anak Melalui Puasa

 



Anak menjadi salah satu aset terbesar bagi orangtua dimasa yang akan datang. Di era sekarang ini, orangtua dihadapkan oleh tantangan dahsyat berupa krisis moral dan etika pada generasi muda. Bagaimana tidak, banyaknya berita yang bermunculan di media sosial hingga berita yang diisi oleh kenakalan remaja. Mulai dari kasus pemerkosaan, tindakan kekerasan, bulliying, anak hamil diluar nikah, perkelahian antara pelajar, geng motor dan lain sebagainya. 

Permasalahan ini tentu menjadi tugas besar sebagai orangtua untuk mendidik generasinya (anak). Dengan didikan tersebut akan mengarahkan anak kepada jalan kebermanfaatan pada lingkungannya sendiri. Namun sebaliknya, bilamana orangtua acuh akan hal pendidikan moral dan etika tentu akan berdampak pada terjadinya tingkat kriminal sosial. 

baca juga cara mendidik anak sejak dini

Pendidikan karakter atau lebih dikenal dengan istilah character building di dalam dunia pendidikan di negara kita. Sekolah mengambil peran penting untuk membantu dalam membangun pendidikan karakter pada generasi selanjutnya melalui kegiatan keagamaan (rohis/rohani siswa), kegiatan sosial, kegiatan menerima tamu (menyambut teman di pagi hari) dan masih banyak lain. Pendidikan karakter itu sendiri dapat dilakukan di lingkungan sekolah dan lingkungan keluarga. Perlu dicatat oleh orangtua, pendidikan karakter di dalam keluarga jauh berperan besar dalam aktualisasi kehidupan anak. Sebab dengan percontohan orangtua secara nyata akan ditiru secara sempurna oleh anak.

Menekankan pendidikan karakter di dalam keluarga dapat dengan ibadah puasa. Puasa salah satu ibadah yang wajib (ramadhan) bagi ummat islam. Puasa mengajarkan banyak pendidikan moral dan etika. Puasa ibadah membangun kesadaran secara interpersonal. anak yang dilatih puasa sejak dini, tentu akan berkesan dalam pendalaman kepribadian. Beberapa dampak puasa pada pendidikan karakter anak seperti :

  • Puasa mengajarkan kejujuran pada anak
  • Puasa mengajarkan untuk kuat seecara fisik
  • Puasa mendidik karakter anak untuk berfikir positif
  • Puasa mengajarkan anak untuk memiliki mental penyabar (tidak tergesa-gesa)
  • Puasa sebagai pendidikan anak berkata dengan baik dan menjaga tindakan
  • melalui kegiatan sahur/makan  mengajarkan kepada anak untuk optimis dalam menahan hal sesuatu
  • Pegiatan iftar/berbuka puasa mengajarkan anak untuk tidak rakus/tamak atau berlebih-lebihan pada sesuatu


Kegiatan puasa bersama keluarga ini sangat membantu dalam menanamkan pendidikan karakter secara cepat serta bersifat ingatan panjang kepada anak (long term memory). Untuk ayah dan bunda jangan sia-siakan moment yang mahal ini untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak melalui puasa. Dengan memanfaatkan puasa ramadhan ini menjadi salah satu alternatif memperkuat secara personalitas etika dan moral kepada anak di tengah kegaduhan global sosial. Menanamkan etika moral melalui pendidikan karakter dengan kegiatan puasa akan berkesan mendalam oleh anak.


Share:

Cara Mendidik Anak Sejak Dini


Anak kesayangan kita tidak terlepas dari perhatian kita dalam mendidiknya. Sukses berbicara pada anak yang berkualitas terletak pada  keaktifan serta pendekatan kita dalam kehidupannya. Pendekatan melalui interaksi oleh ayah bunda sangat tersimpan didalam ingatan anak. Anak akan meniru adegan aktifitas yang dilihat oleh anak terhadap orantua  dan lingkungannya. Beberapa tips mendidik anak yang dapat dilakukan oleh ayah bunda. 


Berikut Tips Mendidik Anak Sejak Dini

1. Ajarkan senyum dan menyapa

Senyum menjadi salah satu langkah awal mengeksplorasi kemampuan anak untuk terhindar dari rasa takut dengan orang sekitar. Ajari anak senyum atau menyapa orang lain. Senyum juga rangkaian dalam melatih anak untuk aktif secara esmosional yang baik. Mengajarkan menyapa kepada orang lain atau kepada keluarga terdekat salah satu perkembangan psikomotor anak (perkembangan dalam mengontrol gerakan-gerakan tubuh melalui kegiatan yang terhubung secara langsung oleh antara saraf pusat dan otot).

2. Ajarkan tentang ibadah

Sangat mudah mengajarkan kepada anak-anak tentang ibadah. Dengan kebiasaan orangtua beribadah di hadapan anak-anaknya mampu membantu dalam mengenalkan cara beribadah. Ibadah pokok ajaran bagi yang beragama. khusus bagi kita keluarga islam tentu mengajarkan ibadah kepada anak-anak kita sebaiknya diajarkan sejak dini. Mengenalkan ibadah seperti mengajarkan membaca al-qur'an melalui taman pendidikan al-qur'an. Mengajarkan sholat yang diperlihatkan oleh orangtua atau mengajak anak ke mesjid. Mengajarkan berpuasa untuk anak-anak serta mengajarkan berbuat baik melalui memberi seperti bersedakah dan menolong. 

3. Ajarkan menghormati orangtua dan orang yang lebih tua

Mengajarkan untuk berjabat tangan dengan orangtua atau tamu, menjadi pembentuk latihan tata Krama kepada anak. Penanaman etika kepada anak bentuk awal bersosial kepada oranglain secara baik. Sebab sosial anak akan terbangun sejak dia mengenali orang-orang terdekat. Untuk itu, penting untuk membekali anak kesponanan kepada oranglain dengan menghormati khusus kepada ayah bunda dan menghargai keberadaan oranglain.


4. Ajarkan tolong dan menolong 

Mengenalkan dengan kata "tolong", awal dari anak anak bersikap menghargai. Sedangkan menolong langkah mengaktifkan kecerdasan anak secara sosial. Sehingga anak-anak mampu dengan cepat berdaptasi dengan lingkungan. Penting mengajarkan anak terkait tolong menolong sebagai perkembangan sosial kepada anak.  Kecakapan sosial pada anak ketika mampu bermanfaat pada lingkungan (kerabat, tetangga, teman) yang selalu memiliki keinginan yang kuat membantu sesama. Mengajarkan sejak dini terkait tolong menolong sangat penting kepada anak sebagai perkembangan pendidikan karakter.

Dari ke-empat didikan dasar kepada anak sejak dini, bunda ayah dapat melakukan hal-hal di atas. Mendidik anak sejak dini dengan didikan yang benar akan menghasilkan anak hebat di masa yang akan datang. Generasi kita terletak pada apa yang kita tanamkan kepada anak kita.
Share:

Membangun Visi Misi Keluarga


Keluarga terbentuk dari berbagai elemen sifat, kebiasaan, prinsip yang menyatu dalam sebuah ikatan sah. Melalui jalur pernikahan, dua perbedaan individual akan mencolok dalam kehidupan sehari-hari. Cita-cita dalam membangun rumah tangga yang diidamkan menginginkan ibarat syurga yang berisikan kebahagiaan semata serta setiap masalah mudah teratasi. 


Hal ini sangat mudah akan terjadi dalam keluarga kita. Bilamana ada komitmen antara pasangan yang berbeda dengan membuat benteng berupa visi misi keluarga. Visi dalam keluarga dibingkai dari bangunan komitmen serta prinsip yang disatukan disetiap menghadapi masalah keluarga. Sedangkan misi dalam keluarga terlahir dari tujuan-tujuan arah kehidupan yang setir bersama.

Untuk lebih memudahkan dalam merancang visi misi keluarga. Maka sebuah ilustrasi bus yang besar berisikan penumpang. Di dalam bus terdapat supir ( ayah/suami), karnet (ibu/istri), penumpang (anak-anak). Bus akan menempuh perjalanan yang panjang dengan memakan waktu yang lama. Bus akan berangkat serta berbelok ke kanan dan kekiri, berhenti dan melaju atas kehendak supir. Namun bus akan berjalan dengan nyaman bilamana di servis dengan baik oleh kernet, sebab kernet mengatahui isi dari bus tersebut. Dimana letak tempat bagasi (penyimpanan barang), tempat nomor urut kursi penumpang, biaya pemasukan yang dipungut. Namun bus tidak akan sempurna tanpa kehadiran penumpang. Karena motivasi kerja pelayanan dari bus berasal dari penumpang. Tidak hanya sebatas itu, penumpang yang memiliki arah tujuan sehingga harus diikut oleh supir meskipun kendati yang lain seperti pemilihan jalur berdasar pada pilihan supir dan kernet yang lebih mengatahui Medan perjalanan. 

Contoh sederhana di atas, bahwa sebuah visi keluarga atas pilihan antara suami dan istri dan misi keluarga berupa rangkaian upaya dalam mendidik generasinya (anak). 


Visi dalam keluarga menginginkan bahwa keluarga yang berprinsip lembut, aktif bersosial, anak yang mampu menguasai bahasa asing, sekeluarga mampu menghafal Alquran,  dan lain sebagainya. Visi diatas dilaksanakan melalui sebuah misi agar tercapai seperti, dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa yang sopan, memasukkan anak di tempat belajar yang diarahkan orangtua dengan melihat kemampuan anak sendiri. 

Nah... untuk moms dan dads yang sudah membingkai keluarganya apakah visi misi keluarga sudah berjalan atau dalam tahap proses mengenali. Teruntuk calon moms dan calon dads alangkah pada saat proses ta'aruf untuk membuat visi misi keluarga agar memiliki arah tujuan setelah menikah. 

Share:

Profesional Sebagai Single Father


Kehidupan ini tidak lepas akan kepergian atau perpisahan dengan pasangan. Jika ada sebuah status pasangan yang dikenal dengan single mom, maka tentu akan ada status single father. Meskipun istilah ini tidak lebih terkenal dari pada single mom. Namun peran penting salah satu pasangan akan berdampak besar pada anak. 


Perjuangan seorang ayah dalam mendidik anak tanpa pasangan akan rumit dilalui. Sebab pemberian kasih sayang ayah dengan ibu yang dirasakan oleh anak tentu juga akan berbeda. secara kekuatan ayah akan lebih dominal pada mencari penghidupan, sedangkan ibu lebih mewarnai di dalam rumah. inilah sebab kenapa seorang laki-laki atau ayah tidak bisa lama hidup sendirian.

Hubungan anak dengan ayah akan nampak pada kesejatian, kekuatan fisik, prinsip hidup. Untuk itu para dads yang sedang berjuang sendiri, berikut hal-hal yang dapat dilakukan dalam mendidik anak.

  1. Kerjasama dengan keluarga untuk pendidikan anak
  2. Memberikan waktu yang cukup disela pekerjaan
  3. Memberikan motivasi hidup, prinsip hidup melalui cerita-cerita yang dibuat
  4. Menyediakan waktu liburan bersama
  5. Memberikan penghidupan yang layak
Share:

Profesional Sebagai Single Mom




Single mom sebuah istilah yang tren dimasa sekarang. Dimana penyebutan ini diarahkan kepada seorang perempuan dengan status kesendirian mengatur, membina, mendidik anak hingga dewasa tanpa pasangan. Single mom tidak lepas pada pengaruh pola pengurusan kepada anak. Orang tua tunggal adalah orang yang memiliki anak atau anak-anak tetapi tidak memiliki pasangan atau pasangan hidup untuk membantu membesarkan atau mendukung anak tersebut. 

baca juga single parents

Seorang ibu yang berstatus janda memiliki peran utama bilamana memiliki anak. Sebab anak dibawah umur 6 hingga 12 tahun akan hidup bersama dengan ibu secara fisik. berbeda dengan ayah atau duda yang akan mengurus dalam perihal meteril. Dalam realitas kehidupan sosial selalu adanya ketidakhubungan baik bilamana pasangan berpisah yang berdampak pada anak.

Peran single mom dalam membentuk anaknya. Untuk moms yang sedang berjuang kepada anaknya, beberapa catatan untuk moms. 

baca juga single father
  1. Tetap menyayangi sepenuh hati
  2. Memberikan pendidikan yang tepat
  3. Memberikan waktu yang cukup diantara sela pekerjaan
  4. Memberikan cerita motivasi kepada anak
  5. Memberi ruang bertemu kepada ayahnya tanpa membatasi
  6. Mendukung dan menjaga lingkungan sekitar
  7. Menguatkan ketika anak merasa terpuruk
  8. Tidak menampakkan kecemasan diri kepada anak 




Share:

Single parents


Alasan menjadi orang tua tunggal meliputi perceraian, perpisahan, penelantaran, menjadi janda, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, persalinan oleh satu orang atau adopsi satu orang. Keluarga dengan orang tua tunggal adalah keluarga dengan anak-anak yang dikepalai oleh orang tua tunggal.  Orang tua tunggal adalah orang yang memiliki anak atau anak-anak tetapi tidak memiliki pasangan atau pasangan hidup untuk membantu membesarkan atau mendukung anak tersebut. Alasan menjadi orang tua tunggal meliputi perceraian, perpisahan, penelantaran, stattus sosial janda, kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan, persalinan oleh satu orang atau adopsi satu orang. Keluarga dengan orang tua tunggal adalah keluarga dengan anak-anak yang dikepalai oleh orang tua tunggal.


Single parents atau lebih dikenal sebagai istilah orangtua baik pihak suami atau istri yang mengurus dan mengasuh kehidupan anaknya tanpa pasangan. Banyak istilah menjabarkan single parents seperti mendidik, memelihara, menjaga anak tanpa kehadiran serta dukungan dari pasangan. Apapun yang dilakukan serta diusahakan selalu sendiri. Single parent lebih dipandang sebagai hal yang sulit sebagian orang lain. Bagaimana tidak, perjuangan dalam mengurus anak dengan mandiri. Untuk itu, single parents haruslah mendapat support dari kerabat terdekat. Hal ini dilakukan untuk menjaga konsistensi orangtua tersebut yang dalam keadaan tidak normal. 


Sebagai Single parents tentu tidak dapat untuk disalahkan secara sepihak. Sebab terjadinya single parents diawal ketidaksediaan dalam mengelolah keluarga sendiri. Akibatnya hal yang tidak diinginkan terjadi seperti perceraian atau ditinggal mati oleh pasangan. Keadaan demikian menjadi tantangan sepasang suami istri untuk mempersiapkan diri bilamana terjadi.

Ada beberapa hal yang perlu diingat sebagai single parents yah Dads dan moms. 

1. Siap untuk bertahan atau survival 

Bertahan dalam dalam kehidupan tanpa orang yang dianggap hebat memerlukan kekuatan yang ekstra. Single parents tentu harus menjalani sehari-harinya sebagai seorang pengembara. Mencari kebutuhan hidup dengan sendiri. Bertahan akan kehidupan sosial yang berpandangan negatif terhadap diri kita. Mempertaruhkan diri untuk keluar mencari penghidupan anak. Sebagai Dads dan moms yang hebat, tentu ini menjadi tantangan tersendiri.  

Semangat dan tabah pasti anda yang terbaik, sehingga anda yang dipilih oleh sang pencipta untuk berperan sebagai single parents dikehidupan ini. Tetap optimis yah untuk dad and moms.


2. Tidak terpengaruh lingkungan

Sangat penting menjadi catatan dimana  keadaan menjadi seorang pahlawan tanpa bantuan dari belahan kasih. Pahlawan membesarkan serta merawat sang buah hati hingga mendapatkan titik kesuksesannya. Lingkungan akan mempengaruhi tumbuh kembang anak disisi lain harus menerima kenyataan memiliki satu orang yang mempengaruhi jatidirinya. 


Untuk itu sebaik single parents memperhatikan lingkungan buah hati agar terhindar dari bullying. Bullying akan mewarnai kenyataan hidup anak. Dimana akan selalu dapat sorotan sebagai anak yang tidak mendapatkan perhatian orangtua.  

Disinilah peran penting single parents sebagai pahlawan sejati untuk menguatkan buah hati terhadap kehidupan sosialnya. Berbijaksana dalam merespon penilaian orang lain atas kehidupan kita dan anak. Mendukung keinginan anak bilamana mengarah kepada perkembangan jatidirinya. 

"Menjaga lingkungan anak sama seperti membingkai pengharapan kasih sayang anak sendiri. Melindungi anak pada tantangan efek sosial bullying temannya". 



3. Tetap fokus pada tujuan

Tidak ada yang menginginkan untuk menjadi sebagai single parent. Sampai kapanpun setiap pasangan menginginkan keharmonisan selama hidupnya. Untuk itu, istilah single parents hanya sebatas status atas ketidak normalnya status hubungan rumah tangga. Sebab sebagaimana yang telah diungkap pada narasi pembuka artikel ini, single parent berperan penting sebagai pelanjut dalam menghidupi dan merawat anaknya atas perpisahan (kematian atau cerai) dengan pasangannya.

Jadi, single parents memiliki arah yang fokus pada tujuannya dengan orientasi kesuksesan anak. Tantangan single parents ketika dihadapkan pilihan untuk mencari pasangan. Pada keadaan ini akan dilema dalam kebersamaan anak. Dimana terdapat beberapa anak terlantar akibat single parents memilih untuk memulai kehidupan barunya dengan pasangan yang baru.  


Pilihan untuk menikah lagi adalah pilihan pribadi untuk single parents, namun tetap perhatikan fokus kepada anak. Anak tetap menjadi anak bagaimanapun status sosial yang kita sandang. 

"Untuk itu hargai anak dengan cara merawat. Fokus kepada anak tidak akan mengurangi kasih sayang kepada orang yang baru datang dalam kehidupan".
Share:

3 Kenyataan Setalah Menikah

Banyak hal-hak yang tidak terduga ketika telah menikah. Hari demi hari, hingga pergantian bulan menjadi tahun pun berlalu. Sadar dan tidak sadar sering kita merenung, kenapa pernikahan yang dilewati tidak seindah pada saat honeymoon ???. 

Banyak anggapan yang mengenal pernikahan seindah jatuh cinta pada pandangan pertama. Realitas kehidupan berkeluarga perlu peran yang serius dalam mempersiapkan hingga mempertahankan keluarga. 


Beberapa realitas kehidupan keluarga setalah akad yang penting untuk dipahami.

1. Bukan hubungan antara kamu dan pasangan

Pernikahan yang diimpikan tidak sekedar  sebagai antara kamu dan dia. Pernikahan terbentuk karena kesiapan kita  dalam  menggabungkan dua keluarga yang berbeda. Perbedaan watak, perbedaan sikap perilaku, perbedaan budaya, perbedaan bahasa, perbedaan lingkungan, perbedaan suku ras,  perbedaan kesukaan, perbedaan pola pikir. 

Dari perbedaan ini akan nampak setelah kita akad atau tinggal bersama. Untuk itulah sebuah alasan pentingnya ta'aruf atau setidaknya mendapatkan CV profil calon pasangan.


Mengenal keluarga pasangan tidak serta Merta hanya mencari kebaikan, namun mencari hal-hal yang dapat kita lengkapi setelah menikah dengannya. Dengan memiliki pandangan awal atas perbedaan dengan pasangan akan memudahkan untuk meminimalisir konflik keluarga. Sebab beberapa kejadian di tengah masyarakat kita akibat dari campur tangan dari orang luar berpotensi memperkeruh keadaan. Untuk itu berkeluarga bukan hanya sebatas diri anda dan pasangan anda namun keluarga menjadi hal yang terilbat dalam kehidupan anda. 

2. Kebutuhan yang selalu bertambah

Dalam berkeluarga menjadi hal yang sangat penting dalam menopang keberlangsungan kehidupan keluarga kita adalah finansial. Finansial setelah berkeluarga menjadi salah satu tantangan terberat. Bagaimana tidak, segala sesuatu memerlukan dana. Dana konsumsi keluarga (dana dapur), dana pendidikan anak, dana perlengkapan atau perbaikan rumah, dana kesehatan keluarga, serta dana refreshing keluarga. 

Masing-masing rumah tangga berbeda dalam perhitungan pendapatan serta pengeluaran dana. Untuk itu sebaik-baiknya orangtua perlu kepandaian serta kebijaksanaan dalam mengelolah keuangan keluarga.  Hal ini penting karena setiap tahun, bertambahnya anak, kebutuhan untuk memiliki rumah pribadi tentu akan mempengaruhi pengelolaan dana keluarga. 


Realitas setelah menikah dan berkeluarga akan merasakan betapa pentingnya sebuah persiapan finansial. Untuk itu para calon suami dan istri hendaknya mempersiapkan serta memikirkan strategi finansial setelah berkeluarga. Untuk para Dads and moms perhatikan antara pendapatan dan pengeluaran. Dan selalu menyisihkan dana darurat untuk mengantisipasi hal-hal diluar dugaan. 

3. Kekurangan pasangan 

Kelebihan pasangan biasanya nampak sebelum menikah. Sebalik dengan kekurangan pasangan yang nampak ketika sudah berumah tangga dengannya. Kenyataan yang terlihat jelas dari sisi kekurangan negatif akan menjadi ujian bagi setiap pasangan. 

Kekurangan dari bentuk fisik, kebiasaan, sifat buruk semua akan dilihat secara nyata. Banyak diantara pasangan yang tidak siap menerima kekurangan pasangan. Sedangkan kurangnya segala bentuk dari pasangan muncul ketika setalah hidup bersama.

Untuk para calon moms dan dads persiapkan mental untuk menerima kekurangan serta bersiap menjadi penutup kekurangan pasangan. Kebaikan ke pasangan hidup tidak lain adalah menghargai kekurangan yang ada pada dirinya.

baca juga family

Share:

Tips Komunikasi Pada Pasangan (Pillow talk)





Komunikasi yang baik terhadap pasangan merupakan hal yang sulit untuk dijumpai dimasa sekarang. Era dimana serba berjarak. Komunikasi menjadi salah satu hal utama kebahagiaan keluarga. Komunikasi sendiri memiliki makna dimana menyampaikan hal-hal dengan orang yang kita ajak berbicara. 


Beberapa tips untuk moms dan dads berkomunikasi dengan pasangan yang menggairahkan. 

1. Mengutarakan dengan lemah lembut

Menyapa pasangan dengan untaian kata-kata lemah (menggoda) dan lembut (sopan) sangat penting menunjang membuka komunikasi pasangan.  Menyampaikan keinginan kepada pasangan melalui kata-kata lemah lembut bermanfaat pada perhatiannya. Pasangan akan lebih mudah memperhatikan karena sapaan  dengan kata yang indah. Untuk dads dan moms pas untuk memulai obrolan dengan rangkain gombalan yang indah. 


2. Menyampaikan pada saat waktu yang tepat

Berkomunikasi pada pasangan penting untuk mempersiapkan diri. Salah satu persiapan yaitu mempersiapkan waktu. Waktu penunjang dalam menghubungkan komunikasi antara dua orang dalam hal ini antara suami dan istri. Mood (gambaran perasaan hati) perlu diperhatikan ketika ingin berbicara dengan pasangan. Tidak mengajak suami ketika sedang capek, kurang fit, dalam keadaan tertekan, dalam keadaan banyak fikiran. 

3. Buka dengan bahasa kasih sayang

Bahasan kasih sayang salah satu bentuk sapaan indah. Biasanya pasangan membuat kata panggilan khusus sebagai kode kasih sayang. Dalam berkomunikasi kasih sayang juga sebagai kata pembuka untuk perbincangan satai hingga perbincangan serius. 

4. Siapkan diri untuk menjadi pendengar

Penting sebagai pasangan yang baik meluangkan waktunya untuk mendengarkan harapan pasangan. Komunikasi yang efektif bilamana salah satu pihak merelakan waktunya untuk mendengarkan curhatan pasangannya. Mendengarkan curhatan pasangan akan mendapatkan titik sensasi berupa harapan dan cita-cita pasangan. Melalui aktifitas ini akan membawa pasangan merangkai tujuan yang baru. Manfaat lain sebagai pendengar akan menyelesaikan konflik pasangan rumah tangga.


5. Memilah bahasa yang tepat

Bahasa sangat berpengaruh pada pemahaman orang yang mendengarkan maksud tujuan kita. Bisa jadi bahasa yang kita gunakan sulit dihapahami oleh pasangan sendiri akan berakibat kesalahpahaman. Bahasa tidak lepas dari intonasi suara yang kita keluarkan dari mulut. Bahasa yang kita gunakan dalam pribadi kita adalah bahasa sehari-hari, namun lain halnya pasangan kita yang mendengarkan akan menilai hingga menyimpulkan. Untuk moms dan dads tentu harus pandai memilih kata. Merangkai untaian kata sehingga terbentuk kalimat yang selalu menyejukkan pasangan sendiri.

7. Memahami akan perasaan pasangan

Memahami perasaan pasangan sendiri perlu keseriusan. Sebab banyak pasangan paham akan perasaan yang sedang dirasakan namun tidak mampu untuk memahaminya. Pasangan dalam keadaan yang secara pikiran sedang tidak baik atau tidak stabil karna lain hal.  Tentu secara kasat mata akan bisa dipahami. Tindakan memahami selanjutnya mencoba memberi pandangan dari sisi yang lain, mencoba memberikan solusi. Dengan demikian menjadi langkah sebagai bentuk tindak lanjut dari memahami perasaan pasangan. Bagi moms dan dads untuk sesering mungkin mendekati melalui perasaan yang kita pahami dari tingkah laku pasangan kita. Dan segera memberi respon akan perasaan tersebut. Dari respon-respon ini akan menjadikan komunikasi tetap terjalin. 

baca juga family

Share:

Tips Bercinta (hubungan intim) yang Asyik


Pasangan yang selalu romantis tentu menjadi idaman semua pasangan keluarga. Banyak keluarga yang mencari cara untuk mempertahankan cinta pasangannya. Berbagai hal yang dapat dilakukan. Setidaknya ada 5 tips dalam bercinta sesama pasangan. Yuk simak ulasannya.

baca juga family

1. Lakukan hubungan intim secara rutin

Melakukan secara rutin memiliki beberapa manfaat. Seperti akan adanya komunikasi terus antara pasangan. Komunikasi yang terus terjalin akan mempererat antara suami dan istri. Buatlah jadwal untuk meetime bersama pasangan anda. Tentukan jadwal dan busana yang diinginkan untuk mendapatkan sensasi yang asyik. 

2. Gunakan pelumas saat berhubungan intim

Menggunakan pelumas hanya sebagai pengawal kesehatan alat vital pasangan. Penggunaan alat pelumas perlu memperhatikan secara medis dengan melihat penggunaan yang sesuai dengan petunjuk. 

3. Jangan terlalu memaksakan diri

Memaksakan diri untuk memuaskan pasangan perlu dipahami bahwa banyak cara memuaskan pasangan tanpa harus dengan pemaksaan diri yang tidak mampu. Memaksakan diri mengantarkan kepada diri membuat diri akan menderita. Untuk itu, sebaiknya pasangan harus mengatahui kesukaan pasangan. Mengatahui kesukaan pasangan menjadi awal dari langkah romantis yang akan dibangun bersama.



4. Cobalah berbagai posisi hubungan intim

Posisi yang biasa atau satu gaya akan membuat pasangan merasakan bosan. Untuk itu, pasangan harus mencoba berbagai gaya. Berbagai gaya baik insiatif dari pihak laki maupun gaya yang diinsiatif oleh perempuan. Gaya posisi bisa didapatkan berbagai situs. Gunakan secara bijaksana untuk kepentingan dalam menikmati hubungan intim bersama pasangan.

5. Lakukan hubungan intim dengan pasangan anda secara berkualitas

Dengan gaya yang beraneka, melakukan dengan waktu yang intens, menggunakan pelumas sebagai perantar hubungan, akan menjadikan pasangan berkualitas dalam bermain cinta.  Kualitas bercinta akan menghadirkan kepuasan kepada pasangan sendiri. Kualitas berhubungan intim bisa didapatkan dengan nuansa baru seperti, menyewa villa atau penginapan dengan view yang indah, menggunakan pakaian yang seksi, menggunakan pewangi dan lain sebagainya. 

Dari lima tips di atas dapat menjadi pilihan anda untuk membangun gairah pasangan. Tidak usah merasa malu kepada pasangan untuk mendiskusikan di atas.

Share:

4 Cara Ampuh Menyelesaikan Konflik Suami Istri

Konflik keluarga menjadi penghias kehidupan pasangan rumah tangga kita. Banyak cara menghindari konflik hingga menyelesaikan konflik dengan baik. Beberapa cara menyelesaikan konflik sesama pasangan. 


1. Jangan Bertengkar di Tempat Umum

Pertengkaran atau lebih dikenal dengan perselisihan antara suami dan istri menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan pernikahan. Hanya saja sebaik pertengkaran sepasan suami dan istri tidak dihadapan umum. Seperti dihadapan orangtua, anak, kerabat hingga tetangga. Penilaian kebahagian rumah tangga dapat terjaga bilamana segala konflik tidak sampai terdengar ditelinga orang lain. Sebaiknya penyelesaian kesalahpahaman antara suami dan istri secara tertutup. Hal ini untuk meminimalisir adanya campur tangan dari luarnyang justru memperkeruh antara hubungan pasangan.


2. Tidak Mengadu Kepada Orangtua

Mengadu sama orangtua menjadi salah satu faktor penyebab perkeruhan dalam rumah tangga sendiri. Untuk itu apabila sedang menghadapi masalah atau konflik sebaiknya tidak disampaikan kepada orangtua. Ada sesuatu yang menjadi privasi keluarga serta ada yang menjadi hal diskusi bersama keluarga besar. Tentu masing-masing keluarga mampu membedakan hal yang layak diceritakan kepada orangtuanya. 

3. Siapkan Waktu Mendengarkan

Tidak ada konflik di dalam keluarga yang tidak memiliki penyebab. Untuk itu tips yang sangat ampuh dalam menyelesaikan konflik sesama pasangan yaitu saling mendengarkan. Meluangkan waktu mendengarkan pasangan solusi terbaik untuk mencari titik kesalahpahaman. 


4. Beri Waktu Untuk Menenangkan Diri Pasangan

Luangkan waktu kepada pasangan untuk mengeluarkan emosinya. Pada fase ini, mendiamkan diri dan pasangan untuk melakukan hal-hal yang mengembalikan mood/suasana hati. Seperti makan, jalan-jalan, menghirup udara segar dll. Jangan memaksakan pasangan untuk meluapkan emosi dengan cara berdebat atau mempertahankan alasannya.  Pada intinya berilah ruang waktu berdiam diri atau merenung/introspeksi diri. 

baca juga types of kinship
Share:

Types of Kinship

 


Patrilineality, also known as the male line or agnatic kinship, is a form of kinship system in which an individual's family membership derives from and is traced through his or her father's lineage. It generally involves the inheritance of property, rights, names, or titles by persons related through male kin.

A patriline ("father line") is a person's father, and additional ancestors that are traced only through males. One's patriline is thus a record of descent from a man in which the individuals in all intervening generations are male. In cultural anthropology, a patrilineage is a consanguineal male and female kinship group, each of whose members is descended from the common ancestor through male forebears.

read more family

Matrilineal

Matrilineality is a form of kinship system in which an individual's family membership derives from and is traced through his or her mother's lineage.

It may also correlate with a societal system in which each person is identified with their matriline—their mother's lineage—and which can involve the inheritance of property and titles. A matriline is a line of descent from a female ancestor to a descendant in which the individuals in all intervening generations are mothers – in other words, a "mother line".

In a matrilineal descent system, an individual is considered to belong to the same descent group as her or his mother. This matrilineal descent pattern is in contrasts to the more common pattern of patrilineal descent pattern.

read more the family and social justice

Bilateral Descent

Bilateral descent is a form of kinship system in which an individual's family membership derives from and is traced through both the paternal and maternal sides. The relatives on the mother's side and father's side are equally important for emotional ties or for transfer of property or wealth. It is a family arrangement where descent and inheritance are passed equally through both parents. Families who use this system trace descent through both parents simultaneously and recognize multiple ancestors, but unlike with cognatic descent it is not used to form descent groups.Traditionally, this is found among some groups in West Africa, India, Australia, Indonesia, Melanesia, Malaysia and Polynesia. Anthropologists believe that a tribal structure based on bilateral descent helps members live in extreme environments because it allows individuals to rely on two sets of families dispersed over a wide area.

Share:

Family


 


Family (from Latin: familia) is a group of people related either by consanguinity (by recognized birth) or affinity (by marriage or other relationship). The purpose of the family is to maintain the well-being of its members and of society. Ideally, families offer predictability, structure, and safety as members mature and learn to participate in the community. Historically, most human societies use family as the primary locus of attachment, nurturance, and socialization. Anthropologists classify most family organizations as matrifocal (a mother and her children), patrifocal (a father and his children), conjugal (a wife, her husband, and children, also called the nuclear family), avuncular (a man, his sister, and her children), or extended (in addition to parents and children, may include grandparents, aunts, uncles, or cousins).

The field of genealogy aims to trace family lineages through history. The family is also an important economic unit studied in family economics. The word "families" can be used metaphorically to create more inclusive categories such as community, nationhood, and global village.

read more types of kindship

Although early western cultural anthropologists and sociologists considered family and kinship to be universally associated with relations by "blood" (based on ideas common in their own cultures) later research has shown that many societies instead understand family through ideas of living together, the sharing of food (e.g. milk kinship) and sharing care and nurture. Sociologists have a special interest in the function and status of family forms in stratified (especially capitalist) societies.According to the work of scholars Max Weber, Alan Macfarlane, Steven Ozment, Jack Goody and Peter Laslett, the huge transformation that led to modern marriage in Western democracies was "fueled by the religio-cultural value system provided by elements of Judaism, early Christianity, Roman Catholic canon law and the Protestant Reformation".Much sociological, historical and anthropological research dedicates itself to the understanding of this variation, and of changes in the family that form over time. Levitan claims:

Times have changed; it is more acceptable and encouraged for mothers to work and fathers to spend more time at home with the children. The way roles are balanced between the parents will help children grow and learn valuable life lessons. There is [the] great importance of communication and equality in families, in order to avoid role strain.

Multigenerational family

Historically, the most common family type was one in which grandparents, parents, and children lived together as a single unit. For example, the household might include the owners of a farm, one (or more) of their adult children, the adult child's spouse, and the adult child's own children (the owners' grandchildren). Members of the extended family are not included in this family group. Sometimes, "skipped" generation families, such as a grandparents living with their grandchildren, are included.

In the US, this arrangement declined after World War II, reaching a low point in 1980, when about one out of every eight people in the US lived in a multigenerational family. The numbers have risen since then, with one in five people in the US living in a multigenerational family as of 2016. The increasing popularity is partly driven by demographic changes and the economic shifts associated with the Boomerang Generation.Multigenerational households are less common in Canada, where about 6% of people living in Canada were living in multigenerational families as of 2016, but the proportion of multigenerational households was increasing rapidly, driven by increasing numbers of Aboriginal families, immigrant families, and high housing costs in some regions.

read more the family and social justice

Conjugal (nuclear) family

The term "nuclear family" is commonly used to refer to conjugal families. A "conjugal" family includes only the spouses and unmarried children who are not of age. Some sociologists distinguish between conjugal families (relatively independent of the kindred of the parents and of other families in general) and nuclear families (which maintain relatively close ties with their kindred).

Other family structures – with (for example) blended parents, single parents, and domestic partnerships – have begun to challenge the normality of the nuclear family.

Single-parent family

A single-parent family consists of one parent together with their children, where the parent is either widowed, divorced (and not remarried), or never married. The parent may have sole custody of the children, or separated parents may have a shared-parenting arrangement where the children divide their time (possibly equally) between two different single-parent families or between one single-parent family and one blended family. As compared to sole custody, physical, mental and social well-being of children may be improved by shared-parenting arrangements and by children having greater access to both parents. The number of single-parent families have been increasing, and about half of all children in the United States will live in a single-parent family at some point before they reach the age of 18. Most single-parent families are headed by a mother, but the number of single-parent families headed by fathers is increasing.

Matrifocal family

A "matrifocal" family consists of a mother and her children. Generally, these children are her biological offspring, although adoption of children occurs in nearly every society. This kind of family occurs commonly where women have the resources to rear their children by themselves, or where men are more mobile than women. As a definition, "a family or domestic group is matrifocal when it is centred on a woman and her children. In this case, the father(s) of these children are intermittently present in the life of the group and occupy a secondary place. The children's mother is not necessarily the wife of one of the children's fathers." The name, matrifocal, was coined in Guiana but it is defined differently in other countries. For Nayar families, the family have the male as the "center" or the head of the family, either the step-father/father/brother, rather than the mother.

read more history of family theories

Extended family

The term "extended family" is also common, especially in the United States. This term has two distinct meanings:

It serves as a synonym of "consanguinal family" (consanguine means "of the same blood").

In societies dominated by the conjugal family, it refers to "kindred" (an egocentric network of relatives that extends beyond the domestic group) who do not belong to the conjugal family.These types refer to ideal or normative structures found in particular societies. Any society will exhibit some variation in the actual composition and conception of families.Historically, extended families were the basic family unit in the Catholic culture and countries (such as Southern Europe and Latin America), and in Asian, Middle Eastern and Eastern Orthodox countries.

Family of choice

The term family of choice, also sometimes referred to as "chosen family" or "found family", is common within the LGBT community, veterans, individuals who have suffered abuse, and those who have no contact with biological "parents". It refers to the group of people in an individual's life that satisfies the typical role of family as a support system. The term differentiates between the "family of origin" (the biological family or that in which people are raised) and those that actively assume that ideal role.The family of choice may or may not include some or all of the members of the family of origin. This family is not one that follows the "normal" familial structure like having a father, a mother, and children. This is family is a group of people that rely on each other like a family of origin would. This terminology stems from the fact that many LGBT individuals, upon coming out, face rejection or shame from the families they were raised in. The term family of choice is also used by individuals in the 12 step communities, who create close-knit "family" ties through the recovery process.

As a family system, families of choice face unique issues. Without legal safeguards, families of choice may struggle when medical, educational or governmental institutions fail to recognize their legitimacy. If members of the chosen family have been disowned by their family of origin, they may experience surrogate grief, displacing anger, loss, or anxious attachment onto their new family.

read more the family and social justice

Blended family

The term blended family or stepfamily describes families with mixed parents: one or both parents remarried, bringing children of the former family into the new family. Also in sociology, particularly in the works of social psychologist Michael Lamb, traditional family refers to "a middle-class family with a bread-winning father and a stay-at-home mother, married to each other and raising their biological children," and nontraditional to exceptions to this rule. Most of the US households are now non-traditional under this definition. Critics of the term "traditional family" point out that in most cultures and at most times, the extended family model has been most common, not the nuclear family, though it has had a longer tradition in England than in other parts of Europe and Asia which contributed large numbers of immigrants to the Americas. 

The nuclear family became the most common form in the U.S. in the 1960s and 1970s.In terms of communication patterns in families, there are a certain set of beliefs within the family that reflect how its members should communicate and interact. These family communication patterns arise from two underlying sets of beliefs. One being conversation orientation (the degree to which the importance of communication is valued) and two, conformity orientation (the degree to which families should emphasize similarities or differences regarding attitudes, beliefs, and values).Blended families is complex, ranging from stepfamilies to cohabitating families (an individual living with guardians who are not married with step or half siblings). 

While it's not too different from stepfamilies, cohabiting families pose a prevalent psychological effect on youths. Some adolescents would be prone to "acts of delinquency," and experiencing problems in school ranging from a decrease in academic performance to increased problematic behavior. It coincides with other researches on the trajectories of stepfamilies where some experienced familyhood, but others lacking connection. Emotional detachment from members within stepfamilies contributes to this uncertainty, furthering the tension that these families may establish. The transition from an old family to a new family that falls under blended families would also become problematic as the activities that were once performed in the old family may not transfer well within the new family for adolescents.

Share:

History of Family Theories

 


Early scholars of family history applied Darwin's biological theory of evolution in their theory of evolution of family systems. American anthropologist Lewis H. Morgan published Ancient Society in 1877 based on his theory of the three stages of human progress from Savagery through Barbarism to Civilization. Morgan's book was the "inspiration for Friedrich Engels' book" The Origin of the Family, Private Property and the State published in 1884.Engels expanded Morgan's hypothesis that economical factors caused the transformation of primitive community into a class-divided society. Engels' theory of resource control, and later that of Karl Marx, was used to explain the cause and effect of change in family structure and function. The popularity of this theory was largely unmatched until the 1980s, when other sociological theories, most notably structural functionalism, gained acceptance.

read more family

The nuclear family in industrial society

Contemporary society generally views the family as a haven from the world, supplying absolute fulfillment. Zinn and Eitzen discuss the image of the "family as haven ... a place of intimacy, love and trust where individuals may escape the competition of dehumanizing forces in modern society".During industrialization, "the family as a repository of warmth and tenderness (embodied by the mother) stands in opposition to the competitive and aggressive world of commerce (embodied by the father). The family's task was to protect against the outside world." However, Zinn and Eitzen note, "The protective image of the family has waned in recent years as the ideals of family fulfillment have taken shape. Today, the family is more compensatory than protective. It supplies what is vitally needed but missing in other social arrangements.""The popular wisdom", according to Zinn and Eitzen, sees the family structures of the past as superior to those today, and families as more stable and happier at a time when they did not have to contend with problems such as illegitimate children and divorce. They respond to this, saying, "there is no golden age of the family gleaming at us in the far back historical past." "Desertion by spouses, illegitimate children, and other conditions that are considered characteristics of modern times existed in the past as well."

The postmodern family

Others argue that whether or not one views the family as "declining" depends on one's definition of "family". "Married couples have dropped below half of all American households. This drop is shocking from traditional forms of the family system. Only a fifth of households were following traditional ways of having married couples raising a family together." In the Western World, marriages are no longer arranged for economic, social or political gain, and children are no longer expected to contribute to family income. Instead, people choose mates based on love. This increased role of love indicates a societal shift toward favoring emotional fulfilment and relationships within a family, and this shift necessarily weakens the institution of the family.Margaret Mead considers the family as a main safeguard to continuing human progress. 

read more types of kinship

Observing, "Human beings have learned, laboriously, to be human", she adds: "we hold our present form of humanity on trust, [and] it is possible to lose it" ... "It is not without significance that the most successful large-scale abrogations of the family have occurred not among simple savages, living close to the subsistence edge, but among great nations and strong empires, the resources of which were ample, the populations huge, and the power almost unlimited". Many countries (particularly Western) have, in recent years, changed their family laws in order to accommodate diverse family models. For instance, in the United Kingdom, in Scotland, the Family Law (Scotland) Act 2006 provides cohabitants with some limited rights. In 2010, Ireland enacted the Civil Partnership and Certain Rights and Obligations of Cohabitants Act 2010. There have also been moves at an international level, most notably, the Council of Europe European Convention on the Legal Status of Children Born out of Wedlock which came into force in 1978. Countries which ratify it must ensure that children born outside marriage are provided with legal rights as stipulated in the text of this convention. The convention was ratified by the UK in 1981 and by Ireland in 1988.

In the United States, one in five mothers has children by different fathers; among mothers with two or more children the figure is higher, with 28% having children with at least two different men. Such families are more common among Blacks and Hispanics and among the lower socioeconomic class.However, in western society, the single parent family has been growing more accepted and has begun to make an impact on culture. Single parent families are more commonly single mother families than single father. These families sometimes face difficult issues besides the fact that they have to rear their children on their own, for example, low income making it difficult to pay for rent, child care, and other necessities for a healthy and safe home.

read more the family and social justice

Furthermore, there are families that consist of two mothers, two fathers, non-binary, trans, and queer folks raising children. This is made possible due to surrogacy, IVF, IUI, adoption, and other processes.

Share:

The Family and Social Justice

 


One of the controversies regarding the family is the application of the concept of social justice to the private sphere of family relations, in particular with regard to the rights of women and children. Throughout much of the history, most philosophers who advocated for social justice focused on the public political arena, not on the family structures; with the family often being seen as a separate entity which needed to be protected from outside state intrusion. One notable exception was John Stuart Mill, who, in his work The Subjection of Women, advocated for greater rights for women within marriage and family. Second wave feminists argued that the personal is political, stating that there are strong connections between personal experiences and the larger social and political structures. In the context of the feminist movement of the 1960s and 1970s, this was a challenge to the nuclear family and family values, as they were understood then. Feminists focused on domestic violence, arguing that the reluctance—in law or in practice—of the state to intervene and offer protection to women who have been abused within the family, is in violation of women's human rights, and is the result of an ideology which places family relations outside the conceptual framework of human rights.

read more family

Social justice is justice in terms of the distribution of wealth, opportunities, and privileges within a society. In Western and Asian cultures, the concept of social justice has often referred to the process of ensuring that individuals fulfill their societal roles and receive their due from society. In the current movements for social justice, the emphasis has been on the breaking of barriers for social mobility, the creation of safety nets, and economic justice. Social justice assigns rights and duties in the institutions of society, which enables people to receive the basic benefits and burdens of cooperation. The relevant institutions often include taxation, social insurance, public health, public school, public services, labor law and regulation of markets, to ensure distribution of wealth, and equal opportunity.Interpretations that relate justice to a reciprocal relationship to society are mediated by differences in cultural traditions, some of which emphasize the individual responsibility toward society and others the equilibrium between access to power and its responsible use. 

Hence, social justice is invoked today while reinterpreting historical figures such as Bartolomé de las Casas, in philosophical debates about differences among human beings, in efforts for gender, ethnic, and social equality, for advocating justice for migrants, prisoners, the environment, and the physically and developmentally disabled.While concepts of social justice can be found in classical and Christian philosophical sources, from Plato and Aristotle to Augustine of Hippo and Thomas Aquinas, the term social justice finds its earliest uses in the late 18th century, albeit with unclear theoretical or practical meanings. The use of the term was early on subject to accusations of redundancy and of rhetorical flourish, perhaps but not necessarily related to amplifying one view of distributive justice. 

In the coining and definition of the term in the natural law social scientific treatise of Luigi Taparelli, in the early 1840s, Taparelli established the natural law principle that corresponded to the evangelical principle of brotherly love—i.e. social justice reflects the duty one has to one’s other self in the interdependent abstract unity of the human person in society. After the Revolutions of 1848, the term was popularized generically through the writings of Antonio Rosmini-Serbati.In the late industrial revolution, Progressive Era American legal scholars began to use the term more, particularly Louis Brandeis and Roscoe Pound. 

From the early 20th century it was also embedded in international law and institutions; the preamble to establish the International Labour Organization recalled that "universal and lasting peace can be established only if it is based upon social justice." In the later 20th century, social justice was made central to the philosophy of the social contract, primarily by John Rawls in A Theory of Justice (1971). In 1993, the Vienna Declaration and Programme of Action treats social justice as a purpose of human rights education.

read more history of family theories

The different concepts of justice, as discussed in ancient Western philosophy, were typically centered upon the community.

Plato wrote in The Republic that it would be an ideal state that "every member of the community must be assigned to the class for which he finds himself best fitted." In an article for J.N.V University, author D.R. Bhandari says, "Justice is, for Plato, at once a part of human virtue and the bond, which joins man together in society. It is the identical quality that makes good and social. Justice is an order and duty of the parts of the soul, it is to the soul as health is to the body. Plato says that justice is not mere strength, but it is a harmonious strength. Justice is not the right of the stronger but the effective harmony of the whole. All moral conceptions revolve about the good of the whole-individual as well as social".

Plato believed rights existed only between free people, and the law should take "account in the first instance of relations of inequality in which individuals are treated in proportion to their worth and only secondarily of relations of equality." Reflecting this time when slavery and subjugation of women was typical, ancient views of justice tended to reflect the rigid class systems that still prevailed. On the other hand, for the privileged groups, strong concepts of fairness and the community existed. Distributive justice was said by Aristotle to require that people were distributed goods and assets according to their merit.

Socrates (through Plato's dialogue Crito) is credited with developing the idea of a social contract, whereby people ought to follow the rules of a society, and accept its burdens because they have accepted its benefits. During the Middle Ages, religious scholars particularly, such as Thomas Aquinas continued discussion of justice in various ways, but ultimately connected being a good citizen to the purpose of serving God.After the Renaissance and Reformation, the modern concept of social justice, as developing human potential, began to emerge through the work of a series of authors. Baruch Spinoza in On the Improvement of the Understanding (1677) contended that the one true aim of life should be to acquire "a human character much more stable than [one's] own", and to achieve this "pitch of perfection... The chief good is that he should arrive, together with other individuals if possible, at the possession of the aforesaid character." During the enlightenment and responding to the French and American Revolutions, Thomas Paine similarly wrote in The Rights of Man (1792) society should give "genius a fair and universal chance" and so "the construction of government ought to be such as to bring forward... all that extent of capacity which never fails to appear in revolutions."

read more types of kinship

Although there is no certainty about the first use of the term "social justice", early sources can be found in Europe in the 18th century. Some references to the use of the expression are in articles of journals aligned with the spirit of the Enlightenment, in which social justice is described as an obligation of the monarch; also the term is present in books written by Catholic Italian theologians, notably members of the Society of Jesus. Thus, according to this sources and the context, social justice was another term for "the justice of society", the justice that rules the relations among individuals in society, without any mention to socio-economic equity or human dignity.The usage of the term started to become more frequent by Catholic thinkers from the 1840s, beginning with the Jesuit Luigi Taparelli in Civiltà Cattolica, and based on the work of St. Thomas Aquinas. 

Taparelli argued that rival capitalist and socialist theories, based on subjective Cartesian thinking, undermined the unity of society present in Thomistic metaphysics as neither were sufficiently concerned with ethics. Writing in 1861, the influential British philosopher and economist, John Stuart Mill stated in Utilitarianism his view that "Society should treat all equally well who have deserved equally well of it, that is, who have deserved equally well absolutely. This is the highest abstract standard of social and distributive justice; towards which all institutions, and the efforts of all virtuous citizens, should be made in the utmost degree to converge."In the later 19th and early 20th century, social justice became an important theme in American political and legal philosophy, particularly in the work of John Dewey, Roscoe Pound and Louis Brandeis. 

One of the prime concerns was the Lochner era decisions of the US Supreme Court to strike down legislation passed by state governments and the Federal government for social and economic improvement, such as the eight-hour day or the right to join a trade union. After the First World War, the founding document of the International Labour Organization took up the same terminology in its preamble, stating that "peace can be established only if it is based on social justice". From this point, the discussion of social justice entered into mainstream legal and academic discourse.

In 1931, the Pope Pius XI explicitly referred to the expression, along with the concept of subsidiarity, for the first time in Catholic social teaching in the encyclical Quadragesimo anno. Then again in Divini Redemptoris, the church pointed out that the realization of social justice relied on the promotion of the dignity of human person. During the 1930s, the term was widely associated with pro-Nazi and antisemitic groups, such as the Christian Front. Social Justice was the slogan of Charles Coughlin, and the name of his newspaper. Because of the documented influence of Divini Redemptoris in its drafters, the Constitution of Ireland was the first one to establish the term as a principle of the economy in the State, and then other countries around the world did the same throughout the 20th century, even in socialist regimes such as the Cuban Constitution in 1976.

In the late 20th century, several liberal and conservative thinkers, notably Friedrich Hayek rejected the concept by stating that it did not mean anything, or meant too many things. However the concept remained highly influential, particularly with its promotion by philosophers such as John Rawls. Even though the meaning of social justice varies, at least three common elements can be identified in the contemporary theories about it: a duty of the State to distribute certain vital means (such as economic, social, and cultural rights), the protection of human dignity, and affirmative actions to promote equal opportunities for everybody.

Share:

About

AD BANNER