blog ini memberikan ulasan ilmu-ilmu menjadi wawasan baru anda seperti Ilmu Hukum, Hukum Keluarga, Psikologi Keluarga, Kesehatan Keluarga, Ilmu Sosial, Dunia Pendidkan.

Ciri Ijazah Yang Dibutuhkan Masyarakat!!!

gmb:(beritatangsel.com)

       Perjalanan pendidikan kita saat ini menjadi bahan refleksi kepribadian dalam memberikan pengaruh positif.  Sebab tidak sedikit diantara para pelajar menjadikan belajar di sekolah mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi sebatas formalitas semata.  Hanya datang untuk mengerjakan tugas dari guru tanpa memikirkan cara menyelesaikan tugas. Dan sering terjadi juga mengerjakan tugas sebatas selesai tanpa mengerti manfaat dari tugas itu.
                                                                                 
           Lantas sampai saat ini,  kita yang sedang menyicipi dunia pendidikan, apakah kita mampu untuk menjawab pertanyaan diatas, atau hanya diam terpendam menahan malu atas ijazah yang tidak mengandung arti dalam kehidupan kita. Ataukah kita masih dalam belajar mencari jawaban atas pertanyaan mau jadi apa saya setelah mendapat ijazah. Inilah kenyataan yang tersembunyi dalam lubuk hati kita. Mari kita merefleksikan diri dengan pesan mendalam dari Allah.

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ وَّجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْاَبْصَارَ وَالْاَفْـِٕدَةَ ۙ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. An nahl 16:78)

Ayat di atas memberikan kritikan kepada kita manusia yang tidak mempergunakan ketiga alat ini untuk belajar dan mengajarkan ilmu. Kita awali dengan pendengaran, yang berperan penting untuk menangkap ilmu serta memberi info penting kepada pendengar kita. Maka catatan kita bersama yaitu, diri yang  sudah dilengkapi dengan pendengaran terindah untuk dijadikan sebagai insan yang berguna. agar berguna tentu jalannya tidak lain selain mendengarkan ilmu dari guru dengan baik. Mendengarkan nasihat dari orangtua. Mendengarkan ilmu agama dari ulama-ulama. Bahkan mampu mendengarkan keluh kesah sesama.

Namun itu semua bisa kita rasakan apabila pendegaran ini kita aktifkan dalam keadaan kita sedang belajar. Ketika sedang belajar baik di sekolah maupun di tempat diskusi sering terjadi pertengkaran argument. Kalian yang membaca tulisan ini, apakah pernah merasakan demikian? Yah… jawaban utama ada pada pendengaran. Inilah fungsi kita bersekolah untuk diajari beradab dan berahklaq. Dari sini penulis ingin mengatakan bahwa Ijazah yang kita miliki akan menjadi manfaat apabila kita menjadi insan yang memenafaatkan alat pendengaran sebagai titipin Allah yang Maha Sempura.

Selanjutnya ayat diatas memberikan kita konsep dalam belajar untuk menggunakan alat penglihatan. Betapa banyak yang belajar namun belum mampu menjawab persoalan yang nampak di depan matanya. Entah itu persoalan pribadi, persoalan keluarga, persoalan pekerjaan hingga persoalan kehidupan masyarakat. Kalian yang membaca tulisan ini, apakah pernah melihat orang seperti ini?

Atau kita bahkan acuh tak acuh sebab diri kita sendiri belum mampu dalam menjawab persoalan itu. Lantas dimana fungsi kita belajar dengan menghabiskan uang yang banyak, menghabiskan waktu yang panjang, membuang banyak tenaga?.

            Mata sebagai alat kita gunakan untuk melihat ilmu-ilmu. Tentu memiliki tujuan agar kita bisa paham apa yang tertulis. Setelah kita melihat bacaan ilmu terkadang reaksi untuk menindak lanjuti sebuah ilmu menjadi penghalang untuk menjawab permasalah yang kita hadapi. Inilah salah satu kejadian di tengah para pelajar.

            Untuk menjadi diri berkualitas akan ilmu kita miliki, tidak harus menunggu untuk mendapat ijazah setinggi langit. Memanfaatkan apa yang kita miliki dalam fokus mendalami minat ilmu kita sendiri, tentu ijazah akan datang dengan penuh penghargaan dari Ilahi. Ketika sedang belajar jangan lupa untuk menuangkan segala keihklasan pada diri anda untuk mencapai tujuan kemanfaatan di tengah masyarakat.

 gmb: (kompsiasna.com)

Kita yang sedang belajar ditunggu oleh mereka yang membutuhkan solusi masalah, tidak pernah diharapkan kita datang setelah mendapatkan ijazah sebagai penambah masalah mereka

Selanjutnya, yang ketiga merupakan alat yang bersembunyi di dalam dada kita, itulah hati. Keberadaanya tidak nampak oleh mata akan tetapi mampu mengubah keadaan seseorang secara tiba-tiba. Kita ambil sebuah contoh, hari ini perasaan kita senang karena mendapat hadiah, namun esok hari kita harus merasakan namanya kekecawaan sebab hal di luar kekuatan kita. Itulah kerja hati yang harus kita kuasai. Sebagai pelajar tentu hati menjadi kunci semangat dalam fokus menalaah sebuah ilmu.

Ketika keadaan hati sedang sempit tentu sangat sulit untuk mencernah sebuah ilmu. Ketika keadaan hati sedang sakit sangat besar keadaan kita untuk malas mengerjakan tugas. Ketika keadaan hati tidak sempurna lagi, maka sulit untuk menyuplai otak untuk berfikir positif. Sebagai pelajar yang baik, tentu harus menjaga kesucian hati. Sebab ketika hati berada pada posisi sejuk dan nyaman, peluang besar akan mempengharui kualitas pribadi kita. Ilmu yang diikat dengan hati yang suci mesti akan membuat pribadi seseorang sangat dibutuhkan ditengah masyarakat. Percaya atau tidak, maka kita akan buktikan dengan beranalogi dengan pertanyaan peristiwa. Apakah masyarakat kita mencari pemimpin yang memiliki pribadi emosi? Tentu tidak. Apakah masyarakat kita mencari ketua desa yang memiliki hati pilih kasih? Tentu tidak. Apakah sebuah perusahaan atau instansi mencari pekerja yang memiliki sifat antara suara hati dan perbuatan berbeda? Tentu tidak. 

Dari sini kita mempelajari bahwa ijazah yang sudah kita kejar bertahun-tahun dengan biaya yang tidak sedikit perlu kita resapi kembali. Penulis ingin mengatakan bahwa ijazah tidak pernah salah dan keliru, akan tetapi nama yang tercantum di ijazah yang membuat ijazah itu sendiri tidak berwibawa dan bernilai. 

"Pada intinya bahwa ciri ijazah yang dibutuhkan masyarakat yaitu ijazah dengan gelar pemberi solusi"


"kita adalah solusi bagi mereka"


        

 

Share:

HUKUM ISLAM DAN KEADILAN

 



HUKUM ISLAM DAN KEADILAN

Jusrihamulyono A.HM

Jusrihamulyono@gmail.com

Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

abstrak

Hukum islam dipandang sebagai alur terbentuknya keadilan. Al-Qur’an dan Sunnah dijadikan pondasi kuat sebagai rujukan keadilan dalam menegakkan hukum ditengah masyarakat. Keadilan merupakan kesatuan dari implementasi dari  terbentuk hukum yang benar. Dalam kalangan umat islam tidak asing dengan kata keadilan, karena merupakan jawaban dari permasalahan perkara sesame indvidu dalam sosial. Keadilan tidak mesti sama rata, namun perasaan keadilan terletak pada bukti hukum. Hukum islam sebagai jalan untuk menegakkan prinsip keadilan melalui nash Al-Qur’an, Hadist, serta sumber lain yang terdapat pada kajian ilmu ushul fiqih.  Pada intinya konsep awal keadilan bersumber dari ilahi untuk umat manusia seluruh alam tanpa melihat unsur-unsur yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

 

 Kata kunci : Keadilan, Hukum Islam

A.    Pendahuluan

Penegekan hukum islam di tengah kerancuan hak keadilan yang dirasakan oleh umat islam sendiri membuat suara umat berkecamuk. Antara realitas dengan berbagai putusan-putusan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Agama semisal mengenai perkara kekeluargaan. Masih banyak putusan yang dianggap oleh sebagian masyarakat tidak memunculkan rasa adil. Jika memacu pada kewenangan yang mengadili perkara umat islam di Indonesai, maka pengadilan khusus berada di bawah kekuasaan Pengadilan Agama Islam. Tentu demikian sudah menjadi kewajiban para hakim untuk menegakkan prinsip keadilan terhadap perkara yang diajukan oleh masyarakat beragama Islam. Pada ajaran agama islam memberikan isyarat kuat untuk menciptakan nilai-nilai prinsip keadilan dalam penegakan hukum.

Pandangan masyarakat kita mengenai hukum akan membawa kepada arah keadilan.  Akan tetapi harapan demikian masih banyak dikeluhkan bahwa hukum yang berwarna keagamaan islam masih jauh pada prinsip keadilan. Penjelasan keadilan sudah menjadi bahasan yang tidak ada hentinya, sebab keadilan masih diukur dengan kesamaatraan dan seimbang. Paradigma konsep terhadap prinsip keadilan dalam hukum islam akan dibahas pada tulisan ini. Bagian tulian ini akan membahas perihal pengertian, keadilan sebagai keniscayaan hukum islam, antara keadilan dan pemnyamataraan, dan keadilan dan kebijakan.

B.     Pembahasan

1.      PENGERTIAN HUKUM ISLAM DAN KEADILAN

Hukum dikenal dari asal kata, yaitu (حكم-يحكم)hakama-yahkumu” dan kemudian berpola pada kata absktraknya atau masdhar (حكما  ) “hukman”. Lafadz (الحكم)al-hukmu” berupa kata bentuk tunggal dari bentuk jamak (الاحكام .) al-ahkam “ Berdasarkan akar kata ( حكم  ) “hakama” tersebut terbentuk kata (   الحكمة)al-hikmah“ dengan makna yaitu kebijaksanaan.[1] Sedangkan hukum dipandang secara istilah menurut ahli ushul adalah khithob (doktirn) syar’i memiliki hubungan terhadap prilaku mukallaf[2]; baik berbentuk perihal perintah atau berbentuk pilihan..[3]

Zainudin Ali dalam buku Hukum Islam, Pengantar Hukum Islam di Indonesia beliau menguraikan bahwa hukum berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap persoalan.[4] Kutbuddin Aibak, hukum islam adalah rentetan aturan dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul yang bertujuan mengatur prilaku manusia atau mukalaf untuk mengikuti aturan agama islam.[5] Adapun hukum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  (KBBI) yaitu, aturan atau kebiasaan yang dengan dasar keyakinan diakui mengikat, yang diputusakan dan ditetapkan oleh pemerintah dan penguasa  dengan perwujudan peraturan dan perundang-undangan, serta segala hal yang mengatur pola kehidupan etika norma bermasyarakat;  kadar ketentuan berupa kaidah; insiden dilingkungan;  pertimbangan terhadap putusan pada penetapan oleh pengadilan atau hakim yang berwenang; serta bentuk hukum berupa vonis.[6]

Selanjutnya kata islam berasal dari dasar kata yang dibangun dengan pola bahasa arab yaitu ( أسلم – يسلم - اسلاما ) “aslama-yuslimu-islaman” dengan urutan bentuk  wazn/bentuk pola kata  ( أفعل – بفعل - افعلالا  ) “af’ala-yuf’ilu-if’alan” dengan miliki makna" ألانقياد والطاعة  kepatuhan dan ketunduhan pada ketenetuan ajaran agama Islam, dan taat terhadap jalan kedamaian dan kesalamatan”. Kata islam berasal melalui dasar bahasa سلم – يسلم – سلاما - وسلامة  salima-yaslamu-salaman-wa salamatan” dengan kepunyaan arti selamat  (dari bahaya), dan bebas (dari cacat).[7]

Kata adil (al-'adl) diambil dari tatanan bahasa Arab. Kata tersebut ditemukan 28 kali di dalam kitab suci Al-Qur’an dengan arti pertengahan.[8] Asal katanya dari –عدل- عدال—يدل)) meluruskan).[9] Menurut Ahmad Azhar Basyir, berpendapat bahwa keadilan merupakan menempatkan sesuatu pada semestinya atau memposisikan sesuatu pada proporsinya yang benar serta memberikan hak-hak pada orang yang tepat.[10] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keadilan bentuk kata sifat (perbuatan, kelakuan, dan sebagainya) yang adil bertujuan “ dia hanya mempertahankan hak dan ~ nya; Pemerintah menciptakan, bagi masyarakat”, maksud lain yaitu bekerja secara bersama-sama demi kesatuan masyarakat secara teratur. Hingga tiap anggota masyarakat mempunyai peluang nyata untuk dapat berkembang serta hidup pada kekuatan aslinya; adil  sama berat; tidak berat sebelah; tidak condong.  Pengertian lain yaitu keputusan hakim itu tetap berpijak kepada yang haq serta mampu berpegang pada kebenaran dengan selayaknya tanpa bertingkah sewenang-wenang[11] Menurut Ibnu Mukarram Al-Ansari memandang keadilan terhadap kesan akhir (kesimpulan) yang terletak dalam jiwa, maka sangat  perlu dikatakan wajar atau lurus (mustaqim).[12] Membentuk keadilan merupakan langkah demi mencapai suatu keadilan dalam hukum dengan memerlukan alokasi waktu yang tidak singkat.[13]

Keadilan dalam hukum islam sudah jelas menjadi acuan utama yang tidak pernah dipisahkan. Sebab hukum islam menjadikan tujuan akhir terbentuknya keadilan. Keadilan tidak akan terbentuk tanpa melalui alur hukum yang dijalurkan islam. Sehingga hal ini menjadikan hukum islam merupakan roh dari keadilan. Artinya hukum islam tidak akan hidup tanpa adanya rasa keadilan yang dilahirkan.

2.      KEADILAN SEBAGAI KENISCAYAAN FORMULASI HUKUM ISLAM

Keadilan sudah menjadi aturan kehidupan yang diidamkan bagi seluruh kalangan masyarakat dalam tingkatan kehidupan bernegara. Namun keadilan di mata masyarakat terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang, sehingga dibutuhkan sebuah pegangan yang kuat. Di dalam kalangan umat islam menjadikan sumber keadilan bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Banyaknya ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang membicarakan keadilan. Sehingga keadilan menunjukka makna bahwa Allah Ta’la sebagai inti keadilan yang kemudian dijalankan melalui petunjuk penjelasan dari rasul-Nya untuk di amalkan oleh masyarakat agar terbentuk keadilan di tengah-tengah umat manusia. [14] Hal tersebut sangat Nampak ketika kata al-A’dl ialah menjadi bagian dari asmaul husnah[15] yang terletak pada posisi ke-30 dari 99 nama baik Allah. Perintah untuk bersikap adil sangat jelas ditegaskan bagi hambanya, seperti yang yermaktub pada kitab Allah Subhana Wata’ala dalam Al-Qur’an. Menyampaikan surat Al-Hadid ayat 25:

  لَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنٰتِ وَاَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتٰبَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِۚ 

Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.[16]

Dari ayat di atas sangat jelas bahwa konsep awal keadilan bersumber dari ilahi untuk umat manusia seluruh alam. Dengan demikian banyaknya tuntutan wajib untuk melakukan keadilan sebagaimana tertulis di ayat Al-Qur’an untuk menghendaki ditegakkannya keadilan.[17] Sangat jelas bahwa ajaran agama Islam menuntut hambanya untuk menikmati haknya sebagai hamba Allah melalui menjaga hak tersebut. Hak tersebut sebagai pemenuhan dalam melengkapi rasa yang ahrus dimilikinya dalam menjalani kehidupan. Makna ini dengan dasar hak yang sama dimiliki oleh manusia berupa hak agama, hak jiwa, hak akal, hak kesalamatan harta, hak pada keturunan[18]

Semua ketentuan hukum Islam itu didasari dengan maksud demi tercapainya sebuah tujuan (muqasid). Sebab pada kehendak hukum (Al Hakim) merujuk pada hak prioritas manusia dalam menjaga ketentraman (maslahah) pada hak agama indvidul, ketentraman pada jiwa, kebebasan terhadap akal, kedamaian dalam mengurus keturunan, dan keamana dalam menjaga harta benda yang dimiliki. Jika terdapat hukum tidak lagi berperan aktif dalam mewujudkan hak mashalah tersebut.  Maka sangat perlu dilakukan usaha atau ijtihad untuk pembaharuan berupa jalan hukum yang memiliki potensi terbentuknya tujuan syariat yakni “maslahah” atau nama lain dari kemaslahatan umat manusia. Pada pandangan Asy-Syatiby mengutarakan maqasid syari’ah dengan lahirnya formasi maslahah menjadikan sebab dari “kebaikan dan kesejahteraan”.[19] Hubungan demikianlan keadilan dalam hukum islam diikat dengan istilah maqashid al-syari‘ah bermakna kemaslahatan, dilihat maqashid al-syari’ (tujuan syariat dari ilahi) maupun maqashid al-mukallaf (tujuan orang yang dibebani sebuah hukum) agar terbentuk keadilan yang mengarah pada kebaikan umat manusia. Adapun maqashid al-syai‘ah pada posisi tujuan kepada Tuhan mencakup empat hal:[20] 1. Hal pertama penetapan dalil Syari’ dari Allah dan Rasul-Nya, yang menjadikan tuntunan syari’ah itu sebagai tujuan kebaikan pada dunia dan akhirat; 2.  Hal tutunan syari’ah menjadi bentuk aturan yang harus diketahui oleh semua manusia; 3. Hal tuntunan syari’ah menjadi hukum taklîfi  (yang dibebani hukum) penerapan hukum yang harus dilakukan; 4. Hal tuntunan syari’ah terbentuknya hukum manusia agar mnenghindari dari terbentuknya hukum yang mengarah pada sikap condong pada keinginan sendiri.

Subtansial ini menjadikan maashid syaria’ah sebagai pisau metode dalam menciptakan keadilan dalam hukum islam untuk perkara umat islam. Tujuan demikianlah yang dihimbau dalam islam sendiri agar terbentuknya keadilan yang semata berdasarkan tujuan Ilahi dan Rasul.

3.      ANTARA KEADILAN DAN PENYAMATARAAN

Menurut Fence M. Wantu berpendapat dalam ukuran keadilan berawal dari kata adil, dengan pokok inti berupa penempatan sesuatu pada posisi untuk memberikan haknya terhadap para yang merasa memiliki hak tersebut. Berdasarkan pada perlawanan untuk menguasai hak, maka perlu disadari bahwa dasar bahwa setiap individu mempunya hak yang setara di hadapan hukum (equality before the law).[21] Pada pandangan lain dari L.J Van Apeldoorn, keadilan hukum bukan perihal pada sudut pandang kesamaan atau bukan dengan istilah keadilan menjadikan tiap-tiap orang mendapatkan bagian yang sama.[22] Meskipun dalam pandangan ilmu hukum dengan sebuah asas keadilan berarti kesamaan (equality), asas dengan tujuan mendapatkan kebebasan dan peluang yang sama.

Perbincangan keadilan dalam contoh di dalam Al-Qur’an dapat ditemukan ada pembagian waris. Dimana seorang laki-laki memperoleh bagian dua dari perempuan atau nama dalam perbandingan disebut dengan dua banding satu. Persoalan ini menjadi dalil yang terdapat QS. al-Nisa’ 11, walaupun  sudah ditegaskan secara jelas (qath’i), tetap diperlukan penafsiran bahwa berhak berhak mendapat status laki-laki atau perempuan. Sebab memiliki kemungkinan bahwa seorang laki-laki bukan berarti ditinjau dari jenis kelamin semata namun bisa dinilai melalui aspek perannya. Apabila  perempuan lebih banyak berperan dalam mencari nafkah atau kebutuhan keluarga, membantu saudara serta melayani orangtua atau menolong keluarga lainnya, maka bisa jadi perempuan tersebut dihukumi persamaan makna menjadi laki-laki dan berhak  mendapatkan dua bagian. sementara laki-laki memperoleh satu bagian. Oleh karena itu dibutuhkan berupa interpretasi terhadap makna dalil-dalil dan bukti nyata dari bersangkutan. Metode yang lain bisa dilalui dengan cara jalur perdamaian (al-sulh) diantara para ahli waris tersebut. Kedua jalan ini mampu meengatasi kadar hak waris bagi perempuan tanpa merubah ketentuan syariat Allah yang tertulis  dalam Al-Qur’an.[23] Khususnya di Negara kita yang berpedeoman pada hasil akhir dari hakim di Pengadilan Agama.

Disisi kemepamatan lain yang dapat menjadi sebuah harapan besar pada perempuan-perempuan untuk diangkat menjadi hakim sebagai pemutus persoalan perdata tertentu yang ada kaitannya dengan hukum Islam. Kepastian lain bias mengambil pandangan dari menganut paham Imam Abu Hanifah. Untuk mendukung pendapat tersebut, bahwa persoalan hukum kekeluargaan (akhwal al-Syakhshiyah) sebagai salah satu bagian dari hukum perdata Islam banyak menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kepribadian perempuan, dan yang paling mengetahui hal-hal tersebut adalah perempuan itu sendiri.[24]

Salah satu contohnya adalah Undang-undang Perkawinan Indonesia tahun 1974: tentang syarat berpoligami, sebagaimana tercantum dalam pasal 4-5 yang berbunyi: pasal 4 ayat 2 dengan aturan yaitu pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (a) istrinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan . Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaiman dimaksud dalam pasal 4 di atas, harus dipenuhi syarat-syarat: (a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri, (b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan istri dan anak-anak mereka,dan (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan anak-anak mereka (pasal 5: 1).[25] Keadilan yang dicontohkan di atas memberikan isyarat bentuk realisasi dari tujuan syari’ah dalam menyebarkan keadilan, khususnya memberikan perlindungan hak kepada istri atau perempuan yang dipoligami mendapatkan perhatian yang ketat. Syarat yang dinubuatkan dalam aturan di atas sama sekali tidak menutup jalan untuk berpoligami, namun hanya saja sebagai benteng untuk perempuan dalam menjaga kebutuhan yang harus dimilikinya.

Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai keadilan dan persamaan mengandung prinsip-prinsip kesetaraan seperti laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba ( QS. Al-Zariyat ayat 56),laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah di bumi.(QS.Al-Baqarah:30), laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial (QS. Al-A’raf:172, Adam dan hawa sama-sama aktif dalam drama kosmis bukan Hawa yang mempengaruhi Adam untuk makan buah Huldi melainkan sama-sama tergoda dan sama-sama pula bertaubat kepada Allah (QS.Al-‘A’raf: 20 sampai 23), laki-laki dan perempuan berpotensi untuk meraih prestasi optimal (QS.Al-Nahl:97).[26]

4.      ANTARA KEADILAN DAN KEBIJAKAN

Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Kemestian berlaku adil mesti ditegakkan di dalam keluarga dan masyarakat Muslim, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil[27] sebagai catatan penting, para fuqaha dan terutama Al-Syatibiy dalam Al-Muwafaqat fi Usulil Ahkam menengahkan konsep bahwa pada hakekatnya syariat itu ajaran hukum yang diuraikan dengan wahyu. Untuk memahami nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam hukum , maka harus terlebih dahulu mengetahui makna atau arti dari kebenaran dan keadilan itu sendiri. Para ilmuwan masih berbeda pendapat dalam hal memberikan arti keadilan, sebab belum ada rumusan yang dapat diterima oleh semua pihak. Seorang Hakim harus dapat mengikuti dan menghayati terjadinya perubahan nilai dalam hubungan kemasyarakatan. Melalui interpretasi yang baik, maka hokum akan tetap hidup dari masa ke masa dan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang mendambakannya.[28]

Dalam tataran epistimologi istilah akal dan hawa dipakai sebagai istilah yang kontras dengan syariat. Baginya bahwa: a. Hukum itu tidak boleh didasarkan atas kesenangan pribadi, b. Nilai-nilai yang mendasari syariat tidak ditentukan oleh akal manusia, c. Syariat bersifat absolut dan universa.[29] Dalam pasal 1 Undang-Undang kekuasaan kehakiman,dan demikian juga dalam pasal-pasal 27 dan 37, dengan jelas dicantumkan bahwa peradilan diselenggarakan " .... guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila .... ". Dari perumusan demikian dirasakan atau tidak pada saat ditetapkan sehingga penerapan serta akibatnya agak nampak dirasakan, hal ini sejalan pandangan ilmiah dalam kajian ilmu akademis yaitu Pengantar Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum.

Melewati penafsiran yang bijak, keadilan dalam hukum islam tetap akan hidup dari masa dulu hingga sekarang. Nampak nyata menjadikan kekuatan hakim dalam menegakkan putusan serta penetapan dalam perkara dengan indenpendensinya. Indenpendensi hakim agar terwujudnya sebuah keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatannya. Inilah yang ditemukan pada akhir putusan dan pentepan pada lembaran disekeliling kehidupan peradilan. Hakim  (qadhi) berkewajiban mengikuti alur sebagaimana yang terdapat di ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang R.I. Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dengan tugas acuan diri seorang hakim bahwa untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Begitu pula dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-undang tersebut dikatakan bahwa “ Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.[30]

Hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman, harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.[31] Tugas hakim pada dasarnya adalah memberi keputusan dalam setiap perkara (konflik) yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan hukum , nilai hukum daripada perilaku, serta kedudukan hukum pihak- pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.[32] Untuk dapat menyelesaikan konflik secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, para hakim harus selalu mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk pemerintah sekalipun dalam mengambil keputusan. Para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan yuridis keputusannya.[33]

Keadilan seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap tegaknya stabilitas kehidupan rakyat. Ancaman terhadap stabilitas yang paling utama dalam suatu negara justru disebabkan munculnya perasaan rakyat yang diperlukan tidak adil. Lebih-lebih bila rasa tidak adil itu sudah makin mengendap dalam batin rakyat, maka dikhawatirkan sewaktu-waktu bisa berkobar menjadi prahara nasional yang ditandai dengan maraknya unjuk rasa, munculnya kekerasan, kerusuhan, dan perbuatan makar. Karena itu menjaga stabilitas yang sesungguhnya adalah dengan menegakkan keadilan yang sebenar-benarnya.[34] Sebuah konsep dari nabi melalui jalur Abu Hurairah dalam periwayatan Al-Nasa’iyang tertulis dalam sanad. Rasulullah SAW bersabda: Imam itu adalah perisai yang dipertahankan (dibela) ia di bekalangnya, dan berlindung dengannya, maka jika ia memerintah dengan takwa dan adil, maka itu adalah pahala baginya, dan jika ia memerintah bukan dengannya, maka ia mendapatkan dosanya.” (Muslim bin Hajjaj, Shohih Muslim).

Dari isyarat di atas sangat jelas menjadi acuan. Prinsip keadilan seorang penguasa tentu berdasarkan sebuah keyakinan yang kuat berdasarkan sumber dari Tuhan dan Rasulnya. Menciptakan keadilan dalam menegakkan suara hukum memerlukan sebuh kesungguhan yang serius. Sebab keadilan akan terjadi ketika kebijakan yang dibuat oleh pemimpin atau hakim ini selurus dengan aturan yang berlaku serta kebutuhan masyarakat.

                           5  KEADILAN DAN KEKEBALAN HUKUM

Manusia memandang bahwa tujuan keadilan ada pada kekuatan bagi mereka menggenngam sebuah kepemimpinan dan juga berada pada suara umat islam.[35] Pemahaman yang menjadi sasaran bahwa posisi keadilan sebagai keadaan pada perwujudan kehendak para hakim. Dalam menciptakan rasa adil dalam tubuh hukum, memerlukan proses waktu yang tidak singkat dengan alasan bahwa kebijakan hakim kembali pada asas pembuktian yang menyebabkan penentuan keadilan untuk kedua pihak. Langkah ini sering menjadi dominasi pada kekuatan suara yang memperjuangkan sistem rangka lingkungan politik sehingga mampu teraktualisasikan.[36] Disisi lain pemengenalan asas “oportunitas” sangat jarang digunakan utama pada penyelesaian persoalan-persoalan hukum yang bersifat terbuka atau menyertakan persoalan hukum rakyat sosial bawah. Demikian ini menjadikan subjek hukum yang seharunya dilindungi oleh asas tersebut, akan tetapi tidak direlasasikan untuk melindugi serta dapat menunjukkan pada berbagai atas persoalan-persoalan besar. Tapi pada kenyataan seorang pelaku tunggal yang secara kondisi seharunsnya tidak semestinya dianggap sebagai pelaku akan tetapi dijadikan sebagai pelaku perkara kakap tersebut.[37] Pada titik kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dapat dituntut. Pada pasal 35(c) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dengan sangat sikap bijak untuk menjadikan kebebasan asas oportuniti ditegakkan pada di Indonesia. Pasal itu berbunyi “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum.”

Posisi lain untuk menyampingkan kasus dengan dasar terhadap oportunitas. Asas oportunitas sebuah kajian landasan penuntut umum memiliki arti otoritas untuk tidak menuntut suatu perkara dihadapan persidangan pengadilan meski alasan kepentingan umum atau hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk medeponir perkara-perkara pidana. Meskipun persoalan yang bersangkutan memiliki bukti dan alasan agar diperiksa dan diajukan dihadapan persidangan pengadilan. Bukti dan fakta yang ditemukan, menjadi salah satu pegangan terdakwa salah satu alasan dapat dijatuhi hukum. Walaupun dengan buti serta fakta yang cukup dimiliki oleh penuntut umum, namun pada prinsipnya disampingkan dan tidak dilimpah kepada pengadilan oleh pihak penuntut umum meski dengan pertimbangan demi kepentingan umum.[38]

Di atas demikian menjadi sebuah teori pada hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Asasn oportunit juga memiliki keasamaan pada hukum pidana Islam seperti merusak harta orang, prilaku lesbian dan homo (perzinaan), menuding orang yang berprilaku baik melakukan zina (al-qadzaf), meminum yang mengandung zat mabuk atau menghilangkan akal (khamar), melukai hingga menyebabkan membunuh seseorang, mencuri barang orang, berbuat kerusakan yang menyebabkan kekacauan atau menghilangkan nyawa serta berbagai kaitannya dengan hukum kepidanaan.[39]  Contoh diatas tidak akan di adili sehingga terpenuhinya bukti dan sanksi. Tujuan demikian agar menjaga hak keadilan bersuara menegakkan hak pelaku.

 

C.    Kesimpulan

Keadilan sebagai bentuk pertengahan dari dua pilihan yang harus mendapatkan porsi seimbang. Kata adil tidak mesti sama rata dalam bentuk kaar penjumlahan, akan tetapi menjadi sebuah ukur untuk bersikap seimbang terhadap pemenuhan dua posisi. Adapun hukum islam menjadi bentuk aturan dari sumber-sumber yang jelas (qathi) serta sumber hukum di tengah perkembangan ilmu fiqih. Garis yang dapat diambil dari pengertian keadilan dan hukum islam ialah aturan yang dibuat berdasarkan sumber-sumber malalui metode dalam perumusan hasil yang seimbang. Hukum islam sebagai jalan untuk menegakkan prinsip keadilan melalui nash Al-Qur’an, Hadist, serta sumber lain yang terdapat pada kajian ilmu ushul fiqih.  Pada intinya konsep awal keadilan bersumber dari ilahi untuk umat manusia seluruh alam tanpa melihat unsur-unsur yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

A. Gazali, Alhadharah, Maqasid Al-Syariah dan Reformulasi Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam, Jurnal Ilmu Dakwah, Vol. 18, No. 2 2019.

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, terj, Pustaka Amani, Jakarta, 2003.

Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, Yogyakarta, UII Pres, 2000.

 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya, Pustaka Progressif, 1997.

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Busamedis, 2004.

Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018, 3-5.  P-ISSN 1979-2824

Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, Juli 2018.

Fence M. Wantu, Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Gorontalo Vol. 12 No 3, September 2012.

Fuji rahmadani,  Teori Keadilan: Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam Dan Barat, Jurnal Ilmu Syari’ah, Perundang-Undangan Dan Hukum Ekonomi Syari’ah, Edisi 1, 2018.

Ibnu mukarram al-Ansari, Lisan Arabi,  Mesir: Dar al-mishriyah jilid 13-14, t.t .

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya, Lathifah Press, 2009.

 Khadduri, Majid , Teologi Keadilan Perspektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1, 1999.

Kutbuddin Aibak, Otoritas dalam Hukum Islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl). Disertasi. Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2014.

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya Paramita, 1993.

Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam, Bandung, 1993.

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.

Muhammad Fu'ad Abd al-Baqiy, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur'an alKarim, Beirut, Dar al-Fikr, 1981.

Muhammad Iqbal, Implementasi efektifitas Asas Opotunitas di Indonesia dengan Landasan kepentingan Umum, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol. 9 No. 1 Maret 2018.

Nursidik, Kebenaran dan keadilan dalam putusan Hakim, dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 74, 2011.

Rohidin, Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia. Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2016.

Salinah, Penerapan Asa Oportunitas Dalam Hukum Pidana Di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, LEGALITE. Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam, Volume I. No. 01., 2016

Sarifa suhra, Kesetaraan Gender dala perspektif al-Qur’an dan implikasinya terhadap hukum islam. Jurnal al-ulum, V,13, No,2 2013.

Setiawan, Pengaruh Yurisprudensi terhadap Peraturan Perundang-undangan (dalam Mengapa Putusan Pemidanaan Hakim Cenderung Lebih Ringan Daripada Tuntutan, Edy Wibowo), Varia Peradilan, tahun ke XXII Nomor 257, April 2007.

Tamyiez Dery, Kaeadilan dalam islam,  jurnal mimbar, Volume, XVIII , No 3, 2002.

Umar Shihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I; Semarang, Dina Utama, 1996.

Yubsir, Maqashid Al- Syari’ah sebagai Metode Interpretasi Teks Hukum: Telaah filsafat Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah, V XI, No 2, 2013.

Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

 

Undang-undang Perkawinan UU No. 1/1974, PP No. 9/1975 dan PP No. 10/1983, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.

UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

 

 

 

 



[1] Rohidin, Pengantar Hukum Islam Dari Semenanjung Arabia Hingga Indonesia. Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2016, 1.

[2]  Hukum-hukum syara' yang ditetapkan itu ialah mengenai perbuatan manusia (mukallaf).  

[3] Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fikih: Kaidah Hukum Islam, Terj, Pustaka Amani, Jakarta, 2003,136

[4] Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, 1.

[5] Kutbuddin Aibak, “Otoritas dalam Hukum Islam (Telaah Pemikiran Khaled M. Abou El Fadl)”. Disertasi. Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, 2014. 94.

[6]  https://kbbi.web.id/hukum

[7] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, 654.

[8] Muhammad Fu'ad Abd Al-Baqiy, Al-Mu'jam Al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur'an A-lkarim, Dar Al-Fikr, Beirut, 1981,  448 – 449.

[9] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, 1997, 905.

[10] Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, UII Pres, Yogyakarta, 2000, 30.

[11] Https://Kbbi.Web.Id/Adil

[12] Ibnu Mukarram Al-Ansari, Lisan Arabi,  Mesir: Dar Al-Mishriyah Jilid 13-14, T.T , 456

[13] Fuji Rahmadani, Teori Keadilan: Kajian dalam Perspektif Filsafat Hukum Islam dan Barat, Jurnal Ilmu Syari’ah, Perundang-Undangan dan Hukum Ekonomi Syari’ah, Edisi 1, 2018, 62.

[14]  Tamyiez Dery, Kaeadilan dalam Islam,  Jurnal Mimbar, Volume, XVIII , No 3, 2002, 338.; Khadduri, Majid , Teologi Keadilan Perspektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 1, 1999

[15] bahasa Arabالأسماء الحسنى, translit. al-asmā’ al-ḥusnā) adalah nama-nama Allah, Tuhan dalam Islam, yang indah dan baik. Asma berarti nama (penyebutan) dan husna berarti yang baik atau yang indah, jadi asmaulhusna adalah nama nama milik Allah yang baik lagi indah.

[16] Menurut qiraishab: “Kami benar-benar telah mengutus para rasul yang Kami pilih dengan membawa beberapa mukjizat yang kuat. Bersama mereka juga Kami turunkan kitab suci-kitab suci yang mengandung hukum, syariat agama, dan timbangan yang mewujudkan keadilan dalam hubungan antarmanusia”. Tafsir Al-Misbah. https://tafsirq.com/57-al-hadid/ayat-25#tafsir-quraish-shihab

[17] Lihat Dalam Al-Qur'an Surat Al-Hadid Ayat 25, Surat Al-Nahl Ayat 90, Surat Yunus Ayat 13, Surat Al-Naml Ayat 52, Surat Al-Israa Ayat 16, Surat Al-Nisaa Ayat 58, Surat Al-Maidah Ayat 8, Surat Al-A‟Raf Ayat 96.

[18]  Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, 2018, 3-5.  

[19] A. Gazali, Alhadharah: Maqasid Al-Syariah dan Reformulasi Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam Jurnal Ilmu Dakwah, 2019 Vol. 18, No. 2, 20.

[20] Yubsir, Maqashid Al- Syari’ah sebagai Metode Interpretasi Teks Hukum: Telaah filsafat Hukum Islam, Jurnal Al-Adalah, V XI, No 2, 2013, 242.

[21] Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3, September 2012, 484.

[22] L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. 11.

[23] Umar Shihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran, Cet. I; Semarang: Dina Utama, 1996, 119.

[24] Sarifa suhra, Kesetaraan Gender Dala Perspektif Al-Qur’an aan Implikasinya Terhadap Hukum Islam. Jurnal Al-Ulum, V,13, No,2 2013, 390.

[25] Undang-undang Perkawinan (UU No. 1/1974, PP No. 9/1975 dan PP No. 10/1983, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986,  8.

[26] Sarifa suhra, Kesetaraan Gender Dala Perspektif Al-Qur’an dan Implikasinya Terhadap Hukum Islam. Jurnal Al-Ulum, 392.

[27] Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Tasikmalaya, Lathifah Press, 2009, 73.

[28] Setiawan Pengaruh Yurisprudensi terhadap Peraturan Perundang-undangan (dalam Mengapa Putusan Pemidanaan Hakim Cenderung Lebih Ringan Daripada Tuntutan, oleh EdyWibowo), Varia Peradilan, Tahun ke XXII Nomor 257, 2007, 36.

[29] A. Gazali, Alhadharah: Maqasid Al-Syariah dan Reformulasi Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam, 19.

[30] Nursidik, Kebenaran dan keadilan dalam putusan Hakim, dalam Jurnal Mimbar Hukum dan Peradilan, Edisi No. 74, 2011, 2-3.

[31] Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

[32] Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Cet. Keenam, Bandung, 1993, 99.

[33]  Ibid.

[34] Fauzi almubarok, Keadilan dalam Perspektif Islam, ISTIGHNA, Vol. 1, No 2, 2018, 135.

[35] Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas, Tanggung Jawab Muslim,243.

[36] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum : Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Busamedis, 2004, 239.

[37] Muhammad Iqbal, Implementasi Efektifitas Asas Opotunitas Di Indonesia Dengan Landasan Kepentingan Umum, Jurnal Surya Kencana Satu : Dinamika Masalah Hukum Dan Keadilan Vol. 9 No. 1, 2018, 87

[38] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan Jakarta, Sinar Grafika, 2009, 436

[39] Salinah, Penerapan Asa Oportunitas Dalam Hukum Pidana Di Indonesia Ditinjau Dai Hukum Islam, LEGALITE. Jurnal Perundang Undangan dan Hukum Pidana Islam, Volume I. No. 01., 2016, 69.

Share:

About

AD BANNER