blog ini memberikan ulasan ilmu-ilmu menjadi wawasan baru anda seperti Ilmu Hukum, Hukum Keluarga, Psikologi Keluarga, Kesehatan Keluarga, Ilmu Sosial, Dunia Pendidkan.

Tips Bercinta (hubungan intim) yang Asyik


Pasangan yang selalu romantis tentu menjadi idaman semua pasangan keluarga. Banyak keluarga yang mencari cara untuk mempertahankan cinta pasangannya. Berbagai hal yang dapat dilakukan. Setidaknya ada 5 tips dalam bercinta sesama pasangan. Yuk simak ulasannya.

baca juga family

1. Lakukan hubungan intim secara rutin

Melakukan secara rutin memiliki beberapa manfaat. Seperti akan adanya komunikasi terus antara pasangan. Komunikasi yang terus terjalin akan mempererat antara suami dan istri. Buatlah jadwal untuk meetime bersama pasangan anda. Tentukan jadwal dan busana yang diinginkan untuk mendapatkan sensasi yang asyik. 

2. Gunakan pelumas saat berhubungan intim

Menggunakan pelumas hanya sebagai pengawal kesehatan alat vital pasangan. Penggunaan alat pelumas perlu memperhatikan secara medis dengan melihat penggunaan yang sesuai dengan petunjuk. 

3. Jangan terlalu memaksakan diri

Memaksakan diri untuk memuaskan pasangan perlu dipahami bahwa banyak cara memuaskan pasangan tanpa harus dengan pemaksaan diri yang tidak mampu. Memaksakan diri mengantarkan kepada diri membuat diri akan menderita. Untuk itu, sebaiknya pasangan harus mengatahui kesukaan pasangan. Mengatahui kesukaan pasangan menjadi awal dari langkah romantis yang akan dibangun bersama.



4. Cobalah berbagai posisi hubungan intim

Posisi yang biasa atau satu gaya akan membuat pasangan merasakan bosan. Untuk itu, pasangan harus mencoba berbagai gaya. Berbagai gaya baik insiatif dari pihak laki maupun gaya yang diinsiatif oleh perempuan. Gaya posisi bisa didapatkan berbagai situs. Gunakan secara bijaksana untuk kepentingan dalam menikmati hubungan intim bersama pasangan.

5. Lakukan hubungan intim dengan pasangan anda secara berkualitas

Dengan gaya yang beraneka, melakukan dengan waktu yang intens, menggunakan pelumas sebagai perantar hubungan, akan menjadikan pasangan berkualitas dalam bermain cinta.  Kualitas bercinta akan menghadirkan kepuasan kepada pasangan sendiri. Kualitas berhubungan intim bisa didapatkan dengan nuansa baru seperti, menyewa villa atau penginapan dengan view yang indah, menggunakan pakaian yang seksi, menggunakan pewangi dan lain sebagainya. 

Dari lima tips di atas dapat menjadi pilihan anda untuk membangun gairah pasangan. Tidak usah merasa malu kepada pasangan untuk mendiskusikan di atas.

Share:

4 Cara Ampuh Menyelesaikan Konflik Suami Istri

Konflik keluarga menjadi penghias kehidupan pasangan rumah tangga kita. Banyak cara menghindari konflik hingga menyelesaikan konflik dengan baik. Beberapa cara menyelesaikan konflik sesama pasangan. 


1. Jangan Bertengkar di Tempat Umum

Pertengkaran atau lebih dikenal dengan perselisihan antara suami dan istri menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan pernikahan. Hanya saja sebaik pertengkaran sepasan suami dan istri tidak dihadapan umum. Seperti dihadapan orangtua, anak, kerabat hingga tetangga. Penilaian kebahagian rumah tangga dapat terjaga bilamana segala konflik tidak sampai terdengar ditelinga orang lain. Sebaiknya penyelesaian kesalahpahaman antara suami dan istri secara tertutup. Hal ini untuk meminimalisir adanya campur tangan dari luarnyang justru memperkeruh antara hubungan pasangan.


2. Tidak Mengadu Kepada Orangtua

Mengadu sama orangtua menjadi salah satu faktor penyebab perkeruhan dalam rumah tangga sendiri. Untuk itu apabila sedang menghadapi masalah atau konflik sebaiknya tidak disampaikan kepada orangtua. Ada sesuatu yang menjadi privasi keluarga serta ada yang menjadi hal diskusi bersama keluarga besar. Tentu masing-masing keluarga mampu membedakan hal yang layak diceritakan kepada orangtuanya. 

3. Siapkan Waktu Mendengarkan

Tidak ada konflik di dalam keluarga yang tidak memiliki penyebab. Untuk itu tips yang sangat ampuh dalam menyelesaikan konflik sesama pasangan yaitu saling mendengarkan. Meluangkan waktu mendengarkan pasangan solusi terbaik untuk mencari titik kesalahpahaman. 


4. Beri Waktu Untuk Menenangkan Diri Pasangan

Luangkan waktu kepada pasangan untuk mengeluarkan emosinya. Pada fase ini, mendiamkan diri dan pasangan untuk melakukan hal-hal yang mengembalikan mood/suasana hati. Seperti makan, jalan-jalan, menghirup udara segar dll. Jangan memaksakan pasangan untuk meluapkan emosi dengan cara berdebat atau mempertahankan alasannya.  Pada intinya berilah ruang waktu berdiam diri atau merenung/introspeksi diri. 

baca juga types of kinship
Share:

Types of Kinship

 


Patrilineality, also known as the male line or agnatic kinship, is a form of kinship system in which an individual's family membership derives from and is traced through his or her father's lineage. It generally involves the inheritance of property, rights, names, or titles by persons related through male kin.

A patriline ("father line") is a person's father, and additional ancestors that are traced only through males. One's patriline is thus a record of descent from a man in which the individuals in all intervening generations are male. In cultural anthropology, a patrilineage is a consanguineal male and female kinship group, each of whose members is descended from the common ancestor through male forebears.

read more family

Matrilineal

Matrilineality is a form of kinship system in which an individual's family membership derives from and is traced through his or her mother's lineage.

It may also correlate with a societal system in which each person is identified with their matriline—their mother's lineage—and which can involve the inheritance of property and titles. A matriline is a line of descent from a female ancestor to a descendant in which the individuals in all intervening generations are mothers – in other words, a "mother line".

In a matrilineal descent system, an individual is considered to belong to the same descent group as her or his mother. This matrilineal descent pattern is in contrasts to the more common pattern of patrilineal descent pattern.

read more the family and social justice

Bilateral Descent

Bilateral descent is a form of kinship system in which an individual's family membership derives from and is traced through both the paternal and maternal sides. The relatives on the mother's side and father's side are equally important for emotional ties or for transfer of property or wealth. It is a family arrangement where descent and inheritance are passed equally through both parents. Families who use this system trace descent through both parents simultaneously and recognize multiple ancestors, but unlike with cognatic descent it is not used to form descent groups.Traditionally, this is found among some groups in West Africa, India, Australia, Indonesia, Melanesia, Malaysia and Polynesia. Anthropologists believe that a tribal structure based on bilateral descent helps members live in extreme environments because it allows individuals to rely on two sets of families dispersed over a wide area.

Share:

Family


 


Family (from Latin: familia) is a group of people related either by consanguinity (by recognized birth) or affinity (by marriage or other relationship). The purpose of the family is to maintain the well-being of its members and of society. Ideally, families offer predictability, structure, and safety as members mature and learn to participate in the community. Historically, most human societies use family as the primary locus of attachment, nurturance, and socialization. Anthropologists classify most family organizations as matrifocal (a mother and her children), patrifocal (a father and his children), conjugal (a wife, her husband, and children, also called the nuclear family), avuncular (a man, his sister, and her children), or extended (in addition to parents and children, may include grandparents, aunts, uncles, or cousins).

The field of genealogy aims to trace family lineages through history. The family is also an important economic unit studied in family economics. The word "families" can be used metaphorically to create more inclusive categories such as community, nationhood, and global village.

read more types of kindship

Although early western cultural anthropologists and sociologists considered family and kinship to be universally associated with relations by "blood" (based on ideas common in their own cultures) later research has shown that many societies instead understand family through ideas of living together, the sharing of food (e.g. milk kinship) and sharing care and nurture. Sociologists have a special interest in the function and status of family forms in stratified (especially capitalist) societies.According to the work of scholars Max Weber, Alan Macfarlane, Steven Ozment, Jack Goody and Peter Laslett, the huge transformation that led to modern marriage in Western democracies was "fueled by the religio-cultural value system provided by elements of Judaism, early Christianity, Roman Catholic canon law and the Protestant Reformation".Much sociological, historical and anthropological research dedicates itself to the understanding of this variation, and of changes in the family that form over time. Levitan claims:

Times have changed; it is more acceptable and encouraged for mothers to work and fathers to spend more time at home with the children. The way roles are balanced between the parents will help children grow and learn valuable life lessons. There is [the] great importance of communication and equality in families, in order to avoid role strain.

Multigenerational family

Historically, the most common family type was one in which grandparents, parents, and children lived together as a single unit. For example, the household might include the owners of a farm, one (or more) of their adult children, the adult child's spouse, and the adult child's own children (the owners' grandchildren). Members of the extended family are not included in this family group. Sometimes, "skipped" generation families, such as a grandparents living with their grandchildren, are included.

In the US, this arrangement declined after World War II, reaching a low point in 1980, when about one out of every eight people in the US lived in a multigenerational family. The numbers have risen since then, with one in five people in the US living in a multigenerational family as of 2016. The increasing popularity is partly driven by demographic changes and the economic shifts associated with the Boomerang Generation.Multigenerational households are less common in Canada, where about 6% of people living in Canada were living in multigenerational families as of 2016, but the proportion of multigenerational households was increasing rapidly, driven by increasing numbers of Aboriginal families, immigrant families, and high housing costs in some regions.

read more the family and social justice

Conjugal (nuclear) family

The term "nuclear family" is commonly used to refer to conjugal families. A "conjugal" family includes only the spouses and unmarried children who are not of age. Some sociologists distinguish between conjugal families (relatively independent of the kindred of the parents and of other families in general) and nuclear families (which maintain relatively close ties with their kindred).

Other family structures – with (for example) blended parents, single parents, and domestic partnerships – have begun to challenge the normality of the nuclear family.

Single-parent family

A single-parent family consists of one parent together with their children, where the parent is either widowed, divorced (and not remarried), or never married. The parent may have sole custody of the children, or separated parents may have a shared-parenting arrangement where the children divide their time (possibly equally) between two different single-parent families or between one single-parent family and one blended family. As compared to sole custody, physical, mental and social well-being of children may be improved by shared-parenting arrangements and by children having greater access to both parents. The number of single-parent families have been increasing, and about half of all children in the United States will live in a single-parent family at some point before they reach the age of 18. Most single-parent families are headed by a mother, but the number of single-parent families headed by fathers is increasing.

Matrifocal family

A "matrifocal" family consists of a mother and her children. Generally, these children are her biological offspring, although adoption of children occurs in nearly every society. This kind of family occurs commonly where women have the resources to rear their children by themselves, or where men are more mobile than women. As a definition, "a family or domestic group is matrifocal when it is centred on a woman and her children. In this case, the father(s) of these children are intermittently present in the life of the group and occupy a secondary place. The children's mother is not necessarily the wife of one of the children's fathers." The name, matrifocal, was coined in Guiana but it is defined differently in other countries. For Nayar families, the family have the male as the "center" or the head of the family, either the step-father/father/brother, rather than the mother.

read more history of family theories

Extended family

The term "extended family" is also common, especially in the United States. This term has two distinct meanings:

It serves as a synonym of "consanguinal family" (consanguine means "of the same blood").

In societies dominated by the conjugal family, it refers to "kindred" (an egocentric network of relatives that extends beyond the domestic group) who do not belong to the conjugal family.These types refer to ideal or normative structures found in particular societies. Any society will exhibit some variation in the actual composition and conception of families.Historically, extended families were the basic family unit in the Catholic culture and countries (such as Southern Europe and Latin America), and in Asian, Middle Eastern and Eastern Orthodox countries.

Family of choice

The term family of choice, also sometimes referred to as "chosen family" or "found family", is common within the LGBT community, veterans, individuals who have suffered abuse, and those who have no contact with biological "parents". It refers to the group of people in an individual's life that satisfies the typical role of family as a support system. The term differentiates between the "family of origin" (the biological family or that in which people are raised) and those that actively assume that ideal role.The family of choice may or may not include some or all of the members of the family of origin. This family is not one that follows the "normal" familial structure like having a father, a mother, and children. This is family is a group of people that rely on each other like a family of origin would. This terminology stems from the fact that many LGBT individuals, upon coming out, face rejection or shame from the families they were raised in. The term family of choice is also used by individuals in the 12 step communities, who create close-knit "family" ties through the recovery process.

As a family system, families of choice face unique issues. Without legal safeguards, families of choice may struggle when medical, educational or governmental institutions fail to recognize their legitimacy. If members of the chosen family have been disowned by their family of origin, they may experience surrogate grief, displacing anger, loss, or anxious attachment onto their new family.

read more the family and social justice

Blended family

The term blended family or stepfamily describes families with mixed parents: one or both parents remarried, bringing children of the former family into the new family. Also in sociology, particularly in the works of social psychologist Michael Lamb, traditional family refers to "a middle-class family with a bread-winning father and a stay-at-home mother, married to each other and raising their biological children," and nontraditional to exceptions to this rule. Most of the US households are now non-traditional under this definition. Critics of the term "traditional family" point out that in most cultures and at most times, the extended family model has been most common, not the nuclear family, though it has had a longer tradition in England than in other parts of Europe and Asia which contributed large numbers of immigrants to the Americas. 

The nuclear family became the most common form in the U.S. in the 1960s and 1970s.In terms of communication patterns in families, there are a certain set of beliefs within the family that reflect how its members should communicate and interact. These family communication patterns arise from two underlying sets of beliefs. One being conversation orientation (the degree to which the importance of communication is valued) and two, conformity orientation (the degree to which families should emphasize similarities or differences regarding attitudes, beliefs, and values).Blended families is complex, ranging from stepfamilies to cohabitating families (an individual living with guardians who are not married with step or half siblings). 

While it's not too different from stepfamilies, cohabiting families pose a prevalent psychological effect on youths. Some adolescents would be prone to "acts of delinquency," and experiencing problems in school ranging from a decrease in academic performance to increased problematic behavior. It coincides with other researches on the trajectories of stepfamilies where some experienced familyhood, but others lacking connection. Emotional detachment from members within stepfamilies contributes to this uncertainty, furthering the tension that these families may establish. The transition from an old family to a new family that falls under blended families would also become problematic as the activities that were once performed in the old family may not transfer well within the new family for adolescents.

Share:

History of Family Theories

 


Early scholars of family history applied Darwin's biological theory of evolution in their theory of evolution of family systems. American anthropologist Lewis H. Morgan published Ancient Society in 1877 based on his theory of the three stages of human progress from Savagery through Barbarism to Civilization. Morgan's book was the "inspiration for Friedrich Engels' book" The Origin of the Family, Private Property and the State published in 1884.Engels expanded Morgan's hypothesis that economical factors caused the transformation of primitive community into a class-divided society. Engels' theory of resource control, and later that of Karl Marx, was used to explain the cause and effect of change in family structure and function. The popularity of this theory was largely unmatched until the 1980s, when other sociological theories, most notably structural functionalism, gained acceptance.

read more family

The nuclear family in industrial society

Contemporary society generally views the family as a haven from the world, supplying absolute fulfillment. Zinn and Eitzen discuss the image of the "family as haven ... a place of intimacy, love and trust where individuals may escape the competition of dehumanizing forces in modern society".During industrialization, "the family as a repository of warmth and tenderness (embodied by the mother) stands in opposition to the competitive and aggressive world of commerce (embodied by the father). The family's task was to protect against the outside world." However, Zinn and Eitzen note, "The protective image of the family has waned in recent years as the ideals of family fulfillment have taken shape. Today, the family is more compensatory than protective. It supplies what is vitally needed but missing in other social arrangements.""The popular wisdom", according to Zinn and Eitzen, sees the family structures of the past as superior to those today, and families as more stable and happier at a time when they did not have to contend with problems such as illegitimate children and divorce. They respond to this, saying, "there is no golden age of the family gleaming at us in the far back historical past." "Desertion by spouses, illegitimate children, and other conditions that are considered characteristics of modern times existed in the past as well."

The postmodern family

Others argue that whether or not one views the family as "declining" depends on one's definition of "family". "Married couples have dropped below half of all American households. This drop is shocking from traditional forms of the family system. Only a fifth of households were following traditional ways of having married couples raising a family together." In the Western World, marriages are no longer arranged for economic, social or political gain, and children are no longer expected to contribute to family income. Instead, people choose mates based on love. This increased role of love indicates a societal shift toward favoring emotional fulfilment and relationships within a family, and this shift necessarily weakens the institution of the family.Margaret Mead considers the family as a main safeguard to continuing human progress. 

read more types of kinship

Observing, "Human beings have learned, laboriously, to be human", she adds: "we hold our present form of humanity on trust, [and] it is possible to lose it" ... "It is not without significance that the most successful large-scale abrogations of the family have occurred not among simple savages, living close to the subsistence edge, but among great nations and strong empires, the resources of which were ample, the populations huge, and the power almost unlimited". Many countries (particularly Western) have, in recent years, changed their family laws in order to accommodate diverse family models. For instance, in the United Kingdom, in Scotland, the Family Law (Scotland) Act 2006 provides cohabitants with some limited rights. In 2010, Ireland enacted the Civil Partnership and Certain Rights and Obligations of Cohabitants Act 2010. There have also been moves at an international level, most notably, the Council of Europe European Convention on the Legal Status of Children Born out of Wedlock which came into force in 1978. Countries which ratify it must ensure that children born outside marriage are provided with legal rights as stipulated in the text of this convention. The convention was ratified by the UK in 1981 and by Ireland in 1988.

In the United States, one in five mothers has children by different fathers; among mothers with two or more children the figure is higher, with 28% having children with at least two different men. Such families are more common among Blacks and Hispanics and among the lower socioeconomic class.However, in western society, the single parent family has been growing more accepted and has begun to make an impact on culture. Single parent families are more commonly single mother families than single father. These families sometimes face difficult issues besides the fact that they have to rear their children on their own, for example, low income making it difficult to pay for rent, child care, and other necessities for a healthy and safe home.

read more the family and social justice

Furthermore, there are families that consist of two mothers, two fathers, non-binary, trans, and queer folks raising children. This is made possible due to surrogacy, IVF, IUI, adoption, and other processes.

Share:

The Family and Social Justice

 


One of the controversies regarding the family is the application of the concept of social justice to the private sphere of family relations, in particular with regard to the rights of women and children. Throughout much of the history, most philosophers who advocated for social justice focused on the public political arena, not on the family structures; with the family often being seen as a separate entity which needed to be protected from outside state intrusion. One notable exception was John Stuart Mill, who, in his work The Subjection of Women, advocated for greater rights for women within marriage and family. Second wave feminists argued that the personal is political, stating that there are strong connections between personal experiences and the larger social and political structures. In the context of the feminist movement of the 1960s and 1970s, this was a challenge to the nuclear family and family values, as they were understood then. Feminists focused on domestic violence, arguing that the reluctance—in law or in practice—of the state to intervene and offer protection to women who have been abused within the family, is in violation of women's human rights, and is the result of an ideology which places family relations outside the conceptual framework of human rights.

read more family

Social justice is justice in terms of the distribution of wealth, opportunities, and privileges within a society. In Western and Asian cultures, the concept of social justice has often referred to the process of ensuring that individuals fulfill their societal roles and receive their due from society. In the current movements for social justice, the emphasis has been on the breaking of barriers for social mobility, the creation of safety nets, and economic justice. Social justice assigns rights and duties in the institutions of society, which enables people to receive the basic benefits and burdens of cooperation. The relevant institutions often include taxation, social insurance, public health, public school, public services, labor law and regulation of markets, to ensure distribution of wealth, and equal opportunity.Interpretations that relate justice to a reciprocal relationship to society are mediated by differences in cultural traditions, some of which emphasize the individual responsibility toward society and others the equilibrium between access to power and its responsible use. 

Hence, social justice is invoked today while reinterpreting historical figures such as Bartolomé de las Casas, in philosophical debates about differences among human beings, in efforts for gender, ethnic, and social equality, for advocating justice for migrants, prisoners, the environment, and the physically and developmentally disabled.While concepts of social justice can be found in classical and Christian philosophical sources, from Plato and Aristotle to Augustine of Hippo and Thomas Aquinas, the term social justice finds its earliest uses in the late 18th century, albeit with unclear theoretical or practical meanings. The use of the term was early on subject to accusations of redundancy and of rhetorical flourish, perhaps but not necessarily related to amplifying one view of distributive justice. 

In the coining and definition of the term in the natural law social scientific treatise of Luigi Taparelli, in the early 1840s, Taparelli established the natural law principle that corresponded to the evangelical principle of brotherly love—i.e. social justice reflects the duty one has to one’s other self in the interdependent abstract unity of the human person in society. After the Revolutions of 1848, the term was popularized generically through the writings of Antonio Rosmini-Serbati.In the late industrial revolution, Progressive Era American legal scholars began to use the term more, particularly Louis Brandeis and Roscoe Pound. 

From the early 20th century it was also embedded in international law and institutions; the preamble to establish the International Labour Organization recalled that "universal and lasting peace can be established only if it is based upon social justice." In the later 20th century, social justice was made central to the philosophy of the social contract, primarily by John Rawls in A Theory of Justice (1971). In 1993, the Vienna Declaration and Programme of Action treats social justice as a purpose of human rights education.

read more history of family theories

The different concepts of justice, as discussed in ancient Western philosophy, were typically centered upon the community.

Plato wrote in The Republic that it would be an ideal state that "every member of the community must be assigned to the class for which he finds himself best fitted." In an article for J.N.V University, author D.R. Bhandari says, "Justice is, for Plato, at once a part of human virtue and the bond, which joins man together in society. It is the identical quality that makes good and social. Justice is an order and duty of the parts of the soul, it is to the soul as health is to the body. Plato says that justice is not mere strength, but it is a harmonious strength. Justice is not the right of the stronger but the effective harmony of the whole. All moral conceptions revolve about the good of the whole-individual as well as social".

Plato believed rights existed only between free people, and the law should take "account in the first instance of relations of inequality in which individuals are treated in proportion to their worth and only secondarily of relations of equality." Reflecting this time when slavery and subjugation of women was typical, ancient views of justice tended to reflect the rigid class systems that still prevailed. On the other hand, for the privileged groups, strong concepts of fairness and the community existed. Distributive justice was said by Aristotle to require that people were distributed goods and assets according to their merit.

Socrates (through Plato's dialogue Crito) is credited with developing the idea of a social contract, whereby people ought to follow the rules of a society, and accept its burdens because they have accepted its benefits. During the Middle Ages, religious scholars particularly, such as Thomas Aquinas continued discussion of justice in various ways, but ultimately connected being a good citizen to the purpose of serving God.After the Renaissance and Reformation, the modern concept of social justice, as developing human potential, began to emerge through the work of a series of authors. Baruch Spinoza in On the Improvement of the Understanding (1677) contended that the one true aim of life should be to acquire "a human character much more stable than [one's] own", and to achieve this "pitch of perfection... The chief good is that he should arrive, together with other individuals if possible, at the possession of the aforesaid character." During the enlightenment and responding to the French and American Revolutions, Thomas Paine similarly wrote in The Rights of Man (1792) society should give "genius a fair and universal chance" and so "the construction of government ought to be such as to bring forward... all that extent of capacity which never fails to appear in revolutions."

read more types of kinship

Although there is no certainty about the first use of the term "social justice", early sources can be found in Europe in the 18th century. Some references to the use of the expression are in articles of journals aligned with the spirit of the Enlightenment, in which social justice is described as an obligation of the monarch; also the term is present in books written by Catholic Italian theologians, notably members of the Society of Jesus. Thus, according to this sources and the context, social justice was another term for "the justice of society", the justice that rules the relations among individuals in society, without any mention to socio-economic equity or human dignity.The usage of the term started to become more frequent by Catholic thinkers from the 1840s, beginning with the Jesuit Luigi Taparelli in Civiltà Cattolica, and based on the work of St. Thomas Aquinas. 

Taparelli argued that rival capitalist and socialist theories, based on subjective Cartesian thinking, undermined the unity of society present in Thomistic metaphysics as neither were sufficiently concerned with ethics. Writing in 1861, the influential British philosopher and economist, John Stuart Mill stated in Utilitarianism his view that "Society should treat all equally well who have deserved equally well of it, that is, who have deserved equally well absolutely. This is the highest abstract standard of social and distributive justice; towards which all institutions, and the efforts of all virtuous citizens, should be made in the utmost degree to converge."In the later 19th and early 20th century, social justice became an important theme in American political and legal philosophy, particularly in the work of John Dewey, Roscoe Pound and Louis Brandeis. 

One of the prime concerns was the Lochner era decisions of the US Supreme Court to strike down legislation passed by state governments and the Federal government for social and economic improvement, such as the eight-hour day or the right to join a trade union. After the First World War, the founding document of the International Labour Organization took up the same terminology in its preamble, stating that "peace can be established only if it is based on social justice". From this point, the discussion of social justice entered into mainstream legal and academic discourse.

In 1931, the Pope Pius XI explicitly referred to the expression, along with the concept of subsidiarity, for the first time in Catholic social teaching in the encyclical Quadragesimo anno. Then again in Divini Redemptoris, the church pointed out that the realization of social justice relied on the promotion of the dignity of human person. During the 1930s, the term was widely associated with pro-Nazi and antisemitic groups, such as the Christian Front. Social Justice was the slogan of Charles Coughlin, and the name of his newspaper. Because of the documented influence of Divini Redemptoris in its drafters, the Constitution of Ireland was the first one to establish the term as a principle of the economy in the State, and then other countries around the world did the same throughout the 20th century, even in socialist regimes such as the Cuban Constitution in 1976.

In the late 20th century, several liberal and conservative thinkers, notably Friedrich Hayek rejected the concept by stating that it did not mean anything, or meant too many things. However the concept remained highly influential, particularly with its promotion by philosophers such as John Rawls. Even though the meaning of social justice varies, at least three common elements can be identified in the contemporary theories about it: a duty of the State to distribute certain vital means (such as economic, social, and cultural rights), the protection of human dignity, and affirmative actions to promote equal opportunities for everybody.

Share:

10 Tips Menjaga Keharmonisan Suami-isteri




Setiap insan yang telah menemukan jodoh hidupnya sangat berharap merasakan kebahagiaan. Kebahagiaan dapat tumbuh berdasar apa yang kita perbuat bersama pasangan kita. 10 langkah rutinitas sehari-hari yang menjaga keharmonisan pasangan.


1.Bersikaplah adil  

2. Berikanlah perhatian yang cukup

3. Berikanlah cinta dan kasih sayang

4. Jangan membuat suami-isteri merasa bersalah

5. Jangan mengambil keputusan sendiri

6. Jangan memperlakukan istri seperti anak


7. Jangan membiarkan istri bekerja terlalu keras

8. Jangan menyendiri

9. Lakukanlah kegiatan intim secara rutin

10. Berikanlah kesempatan berdua untuk bersenang-senang
Share:

Pentingnya Menikah





Selain merupakan ikatan yang memperkuat hubungan antar individu, menikah juga memiliki berbagai manfaat bagi masyarakat. Di antaranya adalah menurunnya tingkat criminalitas, peningkatan produktivitas, dan memperkuat ikatan antar generasi.


Pertama, menikah dapat menurunkan tingkat criminalitas. Hal ini karena pasangan yang telah menikah akan lebih memperhatikan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan berusaha untuk tidak melanggarnya. Selain itu, menikah juga akan membuat pasangan lebih bertanggung jawab terhadap apa yang telah mereka lakukan.

Kedua, menikah dapat memperkuat ikatan antar generasi. Hal ini karena pasangan yang telah menikah akan lebih memperhatikan kelangsungan hidup anak-anaknya. Mereka akan berusaha untuk membentuk keluarga yang harmonis dan sejahtera, sehingga anak-anaknya dapat berkembang dengan baik.

Ketiga, menikah dapat meningkatkan produktivitas. Hal ini karena pasangan yang telah menikah akan lebih memperhatikan kebutuhan dan kepentingan pasangannya. Mereka akan bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Selain itu, pasangan yang telah menikah juga akan lebih mudah untuk bekerjasama dalam mengatasi masalah.

Keempat, menikah dapat membuat seseorang lebih bahagia. Hal ini karena pasangan yang telah menikah akan lebih memperhatikan apa yang diinginkan pasangannya. Mereka akan saling melengkapi dan saling mempercayai satu sama lain. Selain itu, menikah juga akan membuat seseorang lebih mempercaya diri dan merasa diperhatikan.


Pentingnya menikah sebagai berikut:

1. Mempererat hubungan silaturrahim

2. Melahirkan keturunan

3. Mendapatkan ketenangan hati

4. Mendapatkan ketenangan jiwa

5. Memperoleh kebahagiaan dunia akhirat


Share:

Ciri Pasangan yang Baik



Beberapa kriteria yang dapat membantu dalam menilai calon pasangan. Berikut lima cara memilih dan menilai kriteria pasangan yang baik untuk anda.


 1. Memiliki iman dan taqwa
Memiliki iman dan taqwa adalah salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena dengan memiliki iman dan taqwa, seseorang akan memiliki ketenangan dan keberanian dalam menjalani hidup. Beragama Islam Beragama Islam merupakan salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena beragama Islam adalah kewajiban bagi setiap muslim dan merupakan sebuah ikatan yang kuat.

2. Memiliki akhlak yang mulia
Memiliki akhlak yang mulia merupakan salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena dengan memiliki akhlak yang mulia, seseorang akan memiliki karakter yang baik dan menjadi teladan bagi orang lain.

3. Memiliki kemampuan ekonomi yang baik
Memiliki kemampuan ekonomi yang baik merupakan salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena dengan memiliki kemampuan ekonomi yang baik, seseorang akan memiliki kehidupan yang lebih baik dan dapat membahagiakan orang yang dicintainya.


4. Memiliki kesamaan visi dan misi di dalam hidup
Memiliki kesamaan visi dan misi di dalam hidup merupakan salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena kesamaan visi dan misi di dalam hidup akan membuat hubungan lebih harmonis dan kokoh. Mampu menyamakan setiap pandangan. Mampu bergerak bersama. Dengan kesamaan tersebut akan menjadikan komunikasi yang baik antara pasangan.


5. Memiliki keturunan yang sholeh
Memiliki karakter yang baik Memiliki karakter yang baik merupakan salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena memiliki karakter yang baik akan membuat hubungan lebih harmonis dan kokoh. Keturunan akan berlanjut pada generasi sehingga terbentuk keturunan yang baik. Memiliki keturunan yang baik merupakan salah satu ciri-ciri jodoh yang baik. Karena keturunan yang baik akan membuat keluarga Anda semakin bahagia dan harmonis
Share:

Tips Komunikasi pada Anak




Berkomunikasi pada anak dengan baik menjadi penghubung yang baik kepada orangtua, sebaliknya apabila komunikasi orangtua tidak sejalan dengan anaknya dapat menjadi pemicu kesalahan pahaman. 
Berikut tips-tips membangun komunikasi dengan  baik kepada anak


1. Berbahasa lembut kepada anak

Anak pada usai 3 hingga 7 tahun akan menghafal secara alamiah percakapan yang ada disekitar anak. Berbahasa lembut merupakan salah satu langkah melatih perkembangan anak dalam berbicara. Berbahasa lembut dapat diartikan sebagai bahasa yang megandung bijaksana, kesejukan yang didengar oleh anak. Dengan demikian anak-anak mampu merasakan maksud yang kita sampaikan. semisal kalimat lembut, "bunda berharap kamu bisa belajar dengan baik.". Penggunan nama panggilan yang baik seperti"anak sholeh/sholehah". "wahai anakku yang baik".

2. Menggunakan kata yang dipahami anak

Menggunakan kata yang dipahami sangat penting untuk dilakukan oleh orangtua dalam berkomunikasi kepada anak. pemilihan kata akan mempengharui terhadap respon anak. pemelihan pada kata antara Kata perintah dengan kata larangan. sebagai contoh kecil : "nak, tolong ambilkan gelas di atas meja!!!". Dengan kata tolong anak dapat merespon dengan baik.

3. Melihat perasaan atau mood anak

Keadaan yang penting pada saat berhadapan kepada anak dengan melihat perasaan anak. Perasaan anak yang dimaksud dengan melihat situasi sekitar atau respon anak. Semisal, anak yang sedang fokus bermain, anak yang sedang marah; sedih; dan lain sebagainya. Perbedaan keadaan anak dalam perasaan akan berbeda cara berkomunikasi. Pada umumnya membebaskan anak untuk menikmati perasaannya akan lebih baik untuk diajak berkomunkasi.

4. Dekati dengan elusan tangan

Mendekati dengan ulusan tangan bagaikan mendekati anak dengan kasih sayang. merangku, memeluk, menyapa, mengelus akan berdampak perasaan anak. Dengan demikian hal ini menjadi membuka ruang diskusi kepada anak.


5. Mendengarkan curhatan anak

Sesekali telinga kita sebagai orangtu harus terbuka untuk anak. membuka diri kepada anak melalui sebagai pendengar sangat penting untuk mengawali perasaan dan keinginan anak. Dengan mendengarkan curhatan anak, orangtua mampu mengenali jati diri anak.
Share:

Memilih Suami Menurut Tuntunan Rasulullah





Suami di mata istri merupakan teman hidup istri, tempat berlindung, pemimpin, serta penanggung jawab kokohnya rumah tangga. Suami sebagai sosok yang memiliki kelebihan dari istri. Surah An-nisa ayat 34 yang artinya "kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita". 

Kriteria suami idaman Ala Rasulullah setidaknya ada dua poin utama yaitu:


1. Segi Agamanya

Agama menjadi tolak ukur paling utama untuk mencari pemimpin rumah tangga. Pada surah Al Baqarah ayat 221 Yang artinya " dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik  ( dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya hamba sahaya yang mukmin lebih baik dari pada orang musryik walaupun dia menarik hatimu". Dengan agama juga menjadikan pola hidup kesaharian suami terarah dengan jalan yang jelas. Sikap dan perilaku menjadi penghias kehidupan keluarga. Itulah sebab keunggulan agama menjadi urutan pertama. 

2. Kafaah

Kafaa sendiri memiliki arti tersendiri yang artinya perbandingan atau persamaan. Seorang perempuan memilih laki-laki tentu penilaian yang tidak boleh dikesampingkan yaitu perbandingan secara akhlak, harta benda dan tingkat sosial.  Penilaian tersebut sebagai tahapan menghindari ketidak seimbangan dalam suatu pasangan rumah tangga. Contoh sederhana salah satu pasangan yang kekayaannya mencolok. Hal tersebut akan membuat salah satu dibayangi dengan perasaan rendah diri (minder). Sehingga merasa tidak layak untuk meminta bantuan sama pasangan sendiri. Dimana pasangan tersebut pada posisi yang tidak ideal secara sosial sehingga tidak mendapatkan support dari keluarga besar pasangan. Hal ini akan menjadi pemicu tidak tentramnya sebuah pasangan. 

Dari kedua di atas, memilih dan memilah pasangan tentu hal yang utama. Bukan berarti tipekal pasangan yang kita impikan sesempurna, akan tetapi hanya sebagai tolak ukur keluarga idaman yang kita impikan. Dengan memilih pasangan sesuai indikator tentu kita akan lebih leluasa dalam perencanaan keluarga kita sendiri.

Share:

Memilih Istri Menurut Tuntunan Rasulullah





Istri merupakan orang yang akan mendampingi, mengasihi, tempat pelipur gundah gulana, persemaian keturunan, mengasuh hingga mendidik anak, serta mengurus rumah kita. Istri menjadi teman hidup dalam keseharian kita. Tidak ada kehidupan yang indah membagikan diri selain adanya pasangan yang baik. Langkah dalam memilih istri yang baik ala  Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Setidaknya ada 4 cara memilih dan memilah pasangan yang baik untuk kita.


1. Dari segi harta benda
Faktor harta benda menjadi alasan sebagai tolak ukur untuk mengeimbangi taraf kehidupan sosial. Dalam memahami secara sederhana dari segi harta benda yaitu mencocokkan gaya hidup kita dengan calon istri. Bisa jadi gaya hidup yang tinggi tidak mampu menyeimbangi penghasilan kita sebagai suami. Cara memahami konteks ini dengan pandangan lain yaitu segi kemampuan lahiriyah mencari kehidupan atau dengan bahasa kemandirian calon istri. Sehingga pada saat telah menjadi pasangan yang sah, situasi dan kondisi secara ekonomi baik buruk bisa dilewati bersama. Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda dalam hadits yang artinya “dikawininya perempuan itu karena empat perkara, yaitu karena hartanya, karena bangsa atau keturunannya, Karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka carilah yang kuat  yaitu agamanya. Engkau akan bahagia. ( H.R Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu).

2. Dari segi keturunannya (faktor Bibit)
Faktor keturunan ini, sebagai upaya memperbaiki keturunan secara fisik, kecerdasan maupun secara mental jiwa. Anak yang dilahirkan tidak jauh dengan ayah dan ibunya. Ini menjadi bagian penilaian kita dalam mencari pasangan.

3. Dari segi kecantikan
Kencatikan salah satu faktor diperhatikan dalam mencari pasangan. Secara fisik sangat penting dalam pemenuhan seksual secara lazim. Kencatikan di mata laki-laki tidak bisa disamarkan dalam ketegori sebab masing -masing memiliki kriteria.  Kecantikan inilah yang akan menjadi penghias semangat laki-laki. Satu hadits dari Rasulullah shalallahu alaihi wassalam sebagai instruksi menilai kecantikan calon istri, sebagaimana beliau bersabda yang artinya "sebaik-baik istri ialah manakala engkau memandangnya, kamu akan senang terhibur olehnya (karena cantik menawan), jika engkau memerintahkan (suatu perkara), ia akan mematuhinya, jika engkau bersumpah agar ia melakukan sesuatu, dipenuhinya dengan baik, dan jika engkau berpergian dijaga dirinya serta harta bendamu". (HR An-nasai dan lainnya dengan sanad yang sah).

4. Dari segi agama
Faktor agama merupakan hal yang harus diutamakan. Tidak ada yang mendahului diantara alasan memilih calon istri selain melihat agamanya. Dari agama menjadi cerminan tingkah lakunya. Secantik apapun wanita namun agamanya tetap menjadi prioritas. Hal ini instruksi langsung dari Allah dalam surah Al Baqarah ayat 221 yang artinya " dan sesungguhnya wanita hamba sahaya yang mukmin lebih baik (untuk dikawini) dari pada wanita musyrik, sekalipun menarik hatimu". 

5. Dari segi Budi pekerti dan kesalehan
Budi pekerti atau tata Krama menjadi hal yang tidak boleh disampingkan dalam memilih jodoh. Bagaimana tidak, calon istri yang baik tentu akan menampilkan keanggunan baik dari segi verbal ( ucapannya) maupun tingkah lakunya. Satu instrumen penting dari Allah yang tertulis dalam surah An-Nisa 64 yang artinya " maka perempuan- perempuan yang shaleha itu, ialah merakah yang taat kepada Allah serta suaminya, memelihara akan hak suaminya sewaktu suaminya tidak ada". 
Share:

Sebab Perubahan Sosial

    




    Keluarga membentuk tatanan masyarakat dalam satu lingkungan tertentu. Dari kumpulan masyarakat membentuk sebuah tatanan sosial. Setiap era manusia terbentuk dan menjadi satu tatanan yang mudah diingat sebab manusia dalam lingkup sosial memiliki ciri khas tertentu yang menjadi ikon tersendiri. Sebutan kata "jadul" atau dikenal dengan jaman dulu. Istilah demikian karena sebuah keunikan yang diingat pada masa tersebut. Dimana hp atau komputer tidak secanggih sekarang. Fashion yang berbeda. Hingga kultur kebahasaan yang berbeda. 


    Transformasi sosial atau perubahan sosial terbentuk dengan adanya kondisi sosial primer yang menjadi unsur dalam keseimbangan masyarakat, seperti unsur ekonomis, unsur goegrafis, unsur budaya, unsur agama, dan sistem politik hingga unsur sistem kerja hukum. 

Secara tipologis, perubahan sosial dapat dikategorikan menjadi 4 yaitu : 
1. Social process
2. Segmentation
3. Structural change
4. Chang in group structure 

    Faktor yang lain mempengaruhi pola perubahan sosial adalah terjadinya penemuan -penemuan  baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.  Realitas sekarang yang kita lihat hingga kita rasakan dari ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengubah realitas kehidupan tatanan masyarakat. 


Share:

Alasan Cerai dalam Hukum Positif


Sangat perlu dipahami di era sekarang banyaknya pasangan suami-istri yang mengakhiri hubungannya di Pengadilan. Tidak diketahui secara pasti alasan yang dilontarkan para pihak yang berperkara. Untuk itu beberapa alasan yang dipertimbangkan oleh hakim yang bersumber dari hukum positif.

Regulasi yang berlaku di Indonesia berkiblat pada hukum yang berlaku atau disebut juga dengan hukum positif. Membicarakan perkara perkawinan tidak berhenti pada kebahagian semata, ada keadaan tertentu yang mengharuskan sebuah ikatan perkawinan terputus. Terputusnya ikatan perkawinan sendiri diatur secara jelas di perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.


Dalam hukum perdata, penjelasan perceraian diartikan sebagai bubarnya perkawinan. Beberapa alasan yang dapat menyebabkan bubarnya perkawinan atau cerai terdapat dalam Pasal 199 KUHPer yang diuraikan sebagai berikut: 
1) Kematian salah satu pihak; 2) keadaan tidak hadirnya suami atau istri selama 10 tahun diikuti dengan perkawinan baru si istri atau suami setelah mendapat izin dari hakim sesuai dengan Pasal 494; 3) karena ada putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil; 4) karena kematian sala satu pihak.  Adapun pada keadaan perceraian yang tidak didahului dengan alasan perpisahan meja dan ranjang merujuk pada Pasal 209 KUHPer. Dijelaskan dalam pasal tersebut yaitu: 
1) zina, baik yang dilakukan oleh suami atau istri; 2) meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja; 3) suami atau istri dihukum selama 5 Tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan; 4) salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami/istri). 

Pada Pasal 38 Undangan -Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perceraian dapat terjadi karena tiga hal, 1) pihak meninggal dunia; 2) karena perceraian; 3) karena putusan pengadilan. Lanjut pada Pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yang kuat untuk tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri. Hal tersebut menjadi salah satu pertimbangan majelis hakim untuk memaknai tidak sakinahnya pada sauatu pernikahan. Ketentuan pasal diatas dipertegas pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan perceraian adala 1) salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, dan lain-lain sebagaimana yang sukar disembuhkan; 2) salah satu pihak meningkalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan alasan yang sah atau Karena hal lain di luar kemauannya; 3) salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setalah Perkawinan berlangsung; 4) salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; 5) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; 6) antara suami istri terus menerus menjadi persilihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 


Sedangkan alasan perceraian yang tertuang di KHI (kompilasi hukum Islam) pada Pasal 166 terdapat dua alasan yaitu : 1) suami melanggar taklik talak; 2) peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Hukum Islam sendiri terlebih dahulu menetapkan alasan perceraian. Alasan perceraian dalam hukum Islam disebabkan karena pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa dengan istilah "syiqaq" sebagaimana tertera pada firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat 35. Alasan perceraian dalam hukum Islam sangat jelas. Secara garis beras hukum Islam membagi perceraian disebut dengan istilah thalaq dan fasakh. Alasan yang bisa dijadikan suami ketika ingin mencerai melalui alasan nusyuz (istri pembangkang). 

Dari beberapa alasan di atas yang menjadi dalih dalih untuk bercerai di hadapan hukum atau majelis hakim. Sebab perceraian yang sah dan diakui di negara kita ialah perceraian yang dilangsungkan dihadapan majelis hakim.


Share:

Mengenal Ilmu Mantiq

Buku panduan untuk bernalar merangkai ungkapan hal-hal yang dicari kebenarannya. Buku yang menjadi salah satu rujukan bagi kalangan ahlira'yu (rasional analitik). Ilmu yang sudah dijelajahi oleh kalangan pelajar seperti santri pada saat mondok. Tidak berhenti sampai jenjang tersebut, ilmu Mantiq ini sangat berkontribusi pada bidang keilmuwan ditingkat Perguruan TInggi atau Universitas. Ada beberapa jurusan keilmuwan yang membutuhkan ilmu tersebut dalam penerapan ilmunya seperti ilmu hukum, ahwal syakhsyhiyyah, hukum keluarga Islam, studi Islam dan masih banyak lagi. Erat kaitannya dengan program studi dengan pokok bahasan yang disajikan dalam ilmu Mantiq.

Buku diatas dikomentar langsung oleh orang yang berpangaruh besar pada bidang keilmuwan filsafat Islam yaitu Dr. Faruddin Faiz. Perjuangan seorang Muhammad Nuruddin, alumni Al-Azhar Kairo mampu merangkai dari bab awal hingga akhir sampailah tulisan ini utuh dan bisa dipahami. Tulisan ini tidak mereview buku ini, namun mengarah pada pandangan pentingnya belajar ilmu Mantiq. 

Ilmu Mantiq penting gak sih?
Penting tidak penting kembali kepada sudut pandang setiap orang yang berfikir. Dalam hemat saya, orang yang menganggap penting ilmu Mantiq beranggapan bahwa ini adalah ilmu untuk menyusun sebuah arah tindakan yang disetir oleh pikiran itu sendiri. Sebagai contoh kecil, seorang membakar mushaf (lembaran) Al-Qur'an, maka Reaksi kita apa?. Tentu akan muncul sekiranya dua reaksi, yang pertama, tindakan mengutuk orang tersebut dan kedua tindakan membiarkan saja. Perbedaan tindakan tersebut ini karena perbedaan sudut pandang. Orang yang mengutuk perilaku orang membakar mushaf karena kurang mendalami alasan membakar. Orang yang membiarkan sebagai tindakan agar mushaf tersebut tidak tercecer dan terinjak-injak. Begitulah gambaran sederhana terkait hubungan ilmu Mantiq dengan kehidupan kita. Hemat sederhana saya, sebagai ilmu dasar untuk mengambil sebuah keputusan terhadap setiap persoalan hidup atau hal hal yang dihadapkan pada level keraguan.

Ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali dalam karyanya Al- Mustafa hal. 10 menegaskan bahwa orang yang tidak mempelajari ilmu Mantiq, kredibilitas keilmuannya patut dipertanyakan. Alasan logis layaknya orang berfikir bebas tanpa batas sehingga hasil pikiran tersebut mengarah pada berfikir seenaknya yang memicu kerusuhan dan menyusahkan banyak orang. 


Era sekarang ditemui banyak persoalan kompleks tanpa terarah pada tahap penyelesaian. Ada persoalan yang dianggap selesai namun berlanjut di hari yang akan datang. Ini semua tidak luput banyaknya keputusan yang diambil tanpa melalui kaidah-kaidah berfikir.  Hal tersebut menjadi peran penting ilmu Mantiq untuk dipelajari. 

Inti belajar Ilmu Mantiq
Pada inti belajar ilmu Mantiq akan dihadapkan dua bab besar penting dalam memahami sesuatu. Bab pertama Tashawwurat (konsepsi-konsepsi memahami), Yang diarahkan ada tiga bagian utama yaitu pertama tashawwur (concept atau gambaran)kedua tashdiq (Assentment atau pernyataan), dan ketiga Dalalah (makan kebahasaan dan istilah).
Bab Dua, Tasdhiqat (proposisi-propisisi). Bagian ini akan diarahkan pada pemahaman yang mengandung unsur pembenaran dan penghukuman. Suatu narasi dan ucapan mengandung unsur pernyataan dalam ilmu Mantiq disebut dengan qadhiyyah. Qadhiyyah akan dibagi menjadi bermacam-macam berdasarkan subjek, kualitas serta kuantor.

Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis adalah mengantarkan kita pada kesimpulan yang tidak didapatkan sekadar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan adanya logika (nalar) yang logis berhubungan dengan satu proposisi atau premis yang banyak. Ilmu Mantiq ini pada akhirnya mengantarkan untuk berfikir dan memberi kesimpulan kebenaran tanpa adanya pembenaran. 

Share:

About

AD BANNER